![]() |
Jabal Arafah (gambar: Berita Mandala - Pikiran Rakyat) |
Tatkala CJH dari seantero sudut Bumi berwukuf di Arafah, ada video yang beredar di Thread dari drone, memperlihatkan lautan manusia
bak semut-semut merubung gula. Setelah Arafah perjalanan terus ke Muzdalifah dan bermlam di Mina melontar jumrah di Jamarat. Jarak Arafah ke Mina 14 Km, jarak Mina ke Jamarat 3,5 Km. Di sini energi CJH sering terkuras.
Dalam siraman hawa panas terik dengan suhu di atas 40° di
waktu siang dan dekapan suhu dingin tenda be-AC di padang pasir yang gersang di
waktu malam, para CJH meneriakkan Labbaikallahumma Labbaik Labbaika la
Syarikalaka Labbaik, jiwa yang tunduk pertanda betapa kecilnya diri
di Bumi Allah SWT yang luas dan suhu panas yang beringas.
Sadar betapa kecil diri di hadapan Allah SWT Yang Maha
Agung, seusai wukuf di Arafah, CJH menuju Muzdalifah lalu bermalam di
Mina, melontar jumrah dan menuntaskan haji mereka secara hokum fiqih. Setelah semua
rangkaian syarat rukun wajib dan sunnah haji dipenuhi, mestinya CJH menggapai
perasaan legai. Tapi, ternyata tidak begitu.
Mengapa begitu? Musim haji 1446 H/2025 M adalah kali pertama
diterapkannya sistem syarikah dalam pelayanan CJH. Hasilnya ada suami istri
terpisah tempat pemondokan, ada yang kopernya sempat tercecer. Dan, yang lebih
krusial ketika CJH selesai kegiatan di Arafah dan hendak menuju Muzdalifah,
dihadapkan pada antrean menunggu bus.
Bus-bus yang seharusnya datang tepat waktu bagai rombongan kafilah
terorganisasi rapi, ternyata bagai barisan unta lepas kendali. Ribuan jamaah
harus sabar menunggu—bukan 1 atau 2 jam, melainkan 4 jam lebih. Tubuh letih,
mata mengantuk, kaki pegal, tapi antrean belum juga bergeser. Sesampai di
Muzdalifah pun, masalah belum selesai.
Bus-bus sesampai di Muzdalifah seperti kapal fery yang akan
sandar di Merak atau Bakauheni. Harus menunggu agar bisa sandar. Pasalnya,
karena di Muzdalifah jutaan manusia tak ubahnya bagai buih di lautan. Bus hanya
putar-putar mencari tempat menurunkan penumpang. Persis seperti kapal fery
sebelum sandar, hanya bisa buang sauh.
![]() |
Suasana CJH wukuf di Arafah (gambar: Infoindonesia.id) |
Akhirnya, solusi untuk mengurai kemacetan dan menumpuknya manusia di Muzdalifah, bus-bus yang tidak bisa menurunkan penumpang diarahkan untuk langsung ke Mina. Tetapi, jalan menuju Mina juga bagaikan urat nadi yang penuh plak. Aliran busa tak bisa berjalan, persisi seperti aliran darah yang tak bisa mengalir lancar akibat nadi tersumbat plak.
Penumpang yang sudah telanjur turun di Muzdalifah ketika
hendak lanjut ke Mina, menunggu bus tak datang-datang juga, akhirnya ada yang
mencoba peruntungan atau uji nyali atau ngetes kekuatan fisik dengan berjalan
kaki 6–7 kilo. Mereka berkelompok kecil di padang
pasir dan gundukan jabal, malam gelap, udara panas terlunta di berbagai sudut
jalan.
Yang merasa sedikit tajir, setelah kelelahan, memilih naik
taksi untuk menempuh jarak tak sampai dua kilometer. Supir memaksa ia membayar
800 riyal —sekitar empat juta rupiah! Inikah cara negeri ini menyambut tamu
Allah SWT? Tamu yang membawa devisa miliaran dolar ke kas mereka? Tamu mestinya dimuliakan sebagaimana hadis Nabi SAW.
Bukankah Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.”
(HR. Bukhari dan Muslim). Atau petuah lembut dari Imam Syafi’i: “Apabila tamu
datang ke negeri kami, maka ia adalah amanah yang harus kami muliakan, sebab
Allah SWT yang mengirimnya.”
Kisah sedih perjalanan CJH musim 1446 H/2025 M, sebagaimana cerita seorang CJH yang sedang memenuhi panggilan Allah SWT, membuat
trenyuh. Ternyata di balik gedung-gedung megah di Riyard, di gembar-gembor narasi program “Vision 2030” Putra Mahkota Muhammad bin Salman memimpikan negara Arab modern, terkelupas luka CJH.
———————
— dari kisah Elza Feldi Taher pada potretonline.com
Komentar
Posting Komentar