Langsung ke konten utama

Orang Tua Pengganti

Buket bunga dari anak-anak kelas IX-C merupakan rangkaian bunga hidup bukan dibuat dari kertas, (Selasa, 30 Januari 2024)

Guru adalah orang tua pengganti atau guru adalah orang tua di sekolah. Adagium seperti itu barangkali tidak keliru. Anak disekolahkan oleh orang tuanya, tentu tujuannya baik, yaitu untuk dididik oleh guru. Orang tua menyerahkan dengan penuh kepercayaan.

Pada era terdahulu, orang tua tak terlalu ikut campur dengan cara apa guru-guru di sekolah menfifik anak-anak mereka. Sehingga kekerasan terhadap anak didik oleh guru dalam konteks mendidik, tak pernah sampai timbulkan salah paham apalagi pelaporan.

Jadi, di situlah makna “menyerahkan dengan penuh kepercayaan” dimaksud. Beda dengan era sekarang, “kekerasan” oleh guru terhadap anak didiknya dalam konteks mendidik, bisa berujung pelaporan kepada pihak berwajib lalu masuk ke ranah pengadilan.

Akhirnya apa yang terjadi? Guru atas alasan takut dilaporkan ke polisi bila melakukan “kekerasan” terhadap anak didik, mereka menempuh jalan aman, hanya sebatas jalankan tugas dan tanggung jawab menyampaikan materi pelajaran. Tidak lebih dari itu.

Tetapi, atas nama menjunjung integritas, tidak sedikit guru yang merasa terpanggil untuk mendidik dengan hati nurani yang jernih. Di samping menjalankan kewajiban melaksanakan proses belajar mengajar dengan baik, juga memberikan pendidikan karakter.

Terhadap guru yang memberikan materi pelajaran dengan baik dan menanamkan pendidikan budi pekerti kepada anak didiknya, di mata anak-anak, seperti itulah guru yang patut ditangisi kepergiannya untuk alasan purna bhakti atau untuk sebab lainnya.

Selasa kemarin, kembali istri mendapat kejutan dari anak-anak kelas IX-C. Mereka persembahkan buket bunga dan kue. Dan, tangis anak-anak IX-C justru lebih “heboh” dibanding anak-anak kelas IX-B Senin lalu. Benar-benar mengejutkan, mengharukan.

Seorang pelajar putri dipeluk istri sedikit lebih lama daripada anak-anak putri lainnya. Pasalnya, anak tersebut sebulan lalu baru saja kehilangan kasih sayang dari sosok ibunya yang berpulang. Istri saya paham, betapa sedih anak itu ditinggalkan ibunya.

Dalam hal kehilangan kasih sayang dari sosok ibu kandung, siapa pun pasti merindukan sosok ibu pengganti. Barangkali terhadap ibu guru di sekolah makna pengganti itu bisa diperoleh. Tidak salah kiranya anggapan “guru adalah orang tua pengganti.”

Si anak putri itu menangisnya sampai sesenggukan, bagaimana istri tidak terhanyut. Akhirnya ikut arus ke muara tangis-tangisan di antara mereka. Itulah kata istri, tangis anak-anak kelas IX-C lebih “heboh” daripada anak-anak IX-B kemarin. Sebegitunya, ya.

Yang menarik, ketika akan mengeksekusi kejutan itu, anak-anak IX-C minta bantuan Ibu Siti Syamsiah main drama satu babak, atur strategi bagaimana cara agar Ibu Rum Astuti keluar dari kelas, maka oleh Busi by phone dipanggillah untuk datang ke Koperasi.

Emang boleh, ya, Busi?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...