Langsung ke konten utama

Pesan ke Diri Sendiri

Di saat cuaca tidak menentu, hujan sekadar gerimis, panas sekadar menghangatkan, apa yang bisa dilakukan selain berdiam diri di rumah. Menulis ala kadarnya buat mengisi blog ini.

Agak serius sedikit menjerat ide yang melintas di atas kepala, memarkirnya di personal whatsapp lalu memindahkannya ke layar laptop. Dilakukan penyuntingan lebih lanjut agar memadai.

Ya, sekadar memadai sudah lumayan. Setelah dibaca ulang dan disunting kembali tentu akan diperoleh hasil yang sedikit sempurna, apa pun bentuknya, entah puisi, cerpen atau novelet.

Ide yang melintas bisa datang dari buku yang dibaca, layar tv yang ditonton, lagu yang didengar atau peristiwa apa pun yang dilihat langsung di jalan umum atau ruang publik lainnya.

Beruntung aplikasi whatsapp bisa mengirim pesan ke nomor whatsapp sendiri. Begitu ide muncul langsung ketik di personal messages. Tidak perlu lagi menuliskannya di lembaran buku.

Atau kalau tidak di personnel whatsapp bisa juga di note atau catatan, tapi kapasitas karakter yang bisa diakomodasinya terbatas. Ya, paling nyaman di whatsapp, menulis panjang pun bisa diladeninnya.

Keberadaan smartphone mempermudah segala aktivitas penggunanya. Tidak perlu lagi bawa uang cash banyak-banyak, pembayaran cukup dengan m-banking melalui QRIS di layar ponsel.

Tapi, ada tapinya. Mulai tahun depan ini, 2025 yang akan tiba berapa hari ke depan, QRIS (Quick Response Indonesian Standard) bakal dikenai PPN (Pajak Pertambahan Nilai) 12 persen. Hal itu dikemukakan Direktorat Jendral Pajak (DJP) Kemenkeu.

Apalagi AI yang bisa disuruh ngapain aja. Melukis, menulis puisi, cerpen, makalah ringan atau jangan-jangan bisa membikinkan elo skripsi, disertasi atau tesis sekalian. Ampun, deh, pokoknya. Dunia digital makin canggih. Makin serba mudah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...