Langsung ke konten utama

Pak Sepuh 1

Ilustrasi gambar dari kata.web.id

Toxic Social Circle

Tadi malam ada acara haul atas berpulangnya Ketua RT kami setahun lalu. Satu gang kami bapak/ibu berangkat semua. Kecuali Pak Sepuh dan istrinya. Ya, kusebut Pak Sepuh karena memang sudah sepuh, usianya 75 tahun.

Hari Selasa lalu Pak Sepuh diboyong anak mantunya ke rumah sakit tempat anak mantunya bertugas buat kontrol kesehatan yang memang rutin dilakukan, jaraknya sekira 50 km. Baru kembali pulang ke rumahnya Jumat sore.

Meski sudah sepuh, si beliau ini masih pemarah. Mungkin sudah karakternya begitu, sudah pembawaan sejak masa muda. Tak ada obat bagi watak, yang ada obat adalah watuk, bisa beli di apotek berbagai merek tersedia.

Barangkali sudah watak tadi, Pak Sepuh ini konflik dengan almarhum Ketua RT kami tersebut. Hingga Ketua RT itu berpulang, hubungan mereka tidak baik-baik saja. Tidak bertegur sapa bertahun-tahun. Semacam toxic social circle.

Ironis memang kalau hingga kematian datang menjelang, meninggalkan hubungan yang terputus dengan salah satu warga. Semacam ada utang yang belum dibayar. Tetapi, bagaimana lagi kalau biang keroknya adalah Pak Sepuh.

Lebih ironis lagi, Pak Sepuh berkonflik bukan hanya kepada Pak RT lama itu saja, melainkan kepada beberapa orang termasuk Pak RT kami yang sekarang. Beliau ringan suara mencandai orang. Namun, kalau dicandai balik marah.

Di jeda waktu usai santap malam bersama suguhan sahibul hajat, Pak RT yang baru menyinggung Pak Sepuh. Kami lalu buka obrolan. Entah apa hubungannya, semacam firasat, ternyata Pak Sepuh terserang stroke dan dilarikan ke RS.

Saat stroke menyerang, istri dan cucunya mendatangi beberapa rumah tetangga dan gedor-gedor meminta pertolongan. Tak ada yang membuka pintu, wong semua rumah sepi ditinggal ke tempat haul Pak RT lama.

Beruntung ada taksi online, usaha pertolongan melarikan Pak Sepuh ke RS terdekat bisa dilakukan sesegera mungkin. Satu malam kami dipenuhi kecamuk tanda tanya, bagaimana kondisi Pak Sepuh saat itu dan ke depannya.

Pagi tadi sekira pukul 09 dua orang cucunya pulang untuk mematikan lampu teras dan mungkin mengambil pakaian ganti. Info dari cucunya itu, Pak Sepuh positif stroke. Kami beberapa tetangga rembugan untuk pergi membesuk.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...