Langsung ke konten utama

Asal Bukan Bajingan

Bajing Coklat atau Tupai Tanah (foto: IDN Times)

Kalau kucing liar yang masuk rumah kemudian menggarong lauk atas meja, sudah biasa. Ini bajing yang masuk rumah.

Dalam rumah, yang suasananya lain dari habitat aslianya, si bajing alami “gegar budaya”. Kelimpungan cari jalan keluar.

Akhirnya nyumput seharian dalam kamar. Hebohlah kami berdua istri kemarin mengupayakan mengusirnya keluar.

Berhasil, tetapi masuk kolong sofa ruang TV. Semalaman nginap di situ. Meski kami nonton TV, si bajing bergeming.

Ah, ulah si bajing bikin istri ngeri-ngeri sedap. Bila nongol dari bawah sofa bukan keluar, melainkan kembali ke kamar.

Tadi sekira pukul 15an si bajing berhasil melarikan diri lewat jendela belakang. Menclok di talang air tetangga belakang.

Sepertinya masih dalam keadaan trauma “gegar budaya” membuat si bajing belum menemukan arah jalan pulang.

Tidak jelas dari mana masuknya. Tidak bilang kulonuwun apa sampurasun, soalnya. Tahu-tahu sudah dalam rumah.

Tidak jelas juga faktor apa bajing itu bisa nyelonong masuk rumah. Memang iya, rumah dekat perkebunan penduduk.

Di samping rumah ada perkebunan penduduk. Tanaman kelapa, cokelat, kopi, pisang, dan tanaman perdu lainnya.

Rumah dekat kebun tentu nyaman. Lingkungan yang sedikit adem mewarnai suasana keseharian kami dan tetangga.

Tanaman kelapa, pisang, dan cokelat itu yang menyebabkan ada bajing. Adanya ketersediaan bahan pangan baginya.

Dekat kebun itu yang menyebabkan bajing bisa kesasar dan masuk rumah. Mungkin keasikan lompat-lompat, lupa diri.

Entah sampai kapan kebun itu bertahan sebagai kebun yang hasilnya tidak begitu menjanjikan, berubah menjadi rumah.

Dengar-dengar, yang mengincar banyak. Namun, belum cocok harga. Jadi, belum ada titik temu peminat vs pemilik.

Nah, ada misi apa si bajing masuk rumah. Pertanda apa kalau bajing masuk rumah? Primbon Jawa bisa menjawab.

Pertanda baik atau buruk menurut tafsir primbon, di Google ada jawabnya. Silakan googling sendiri jika pengin tahu.

Apa pun pertandanya, ulah bajing masuk rumah kemarin, antara rasa kasihan dan takut padanya jadi campur aduk.

Pikir saya baru bajing, bagaimana kalau bajingan. Tentu lebih ngeri dan tak sedap bila dibandingkan si bajing.

Tetapi, walau sekadar bajing, kalau itu bajing loncat, tidak bisa dianggap sepele. Itu musuh bebuyutan sopir truk.

Bajingan, apa pun, itu musuh semua umat. Bajingan tengik preman pasar atau bajingan berdasi di gedung parlemen.

Keduanya sama-sama melahirkan ketidak-sukaan, benci, ketakutan, dan serbarasa. Ulah mereka, mengupak amarah.

Tidak apa juga kalau sekadar bajing yang masuk rumah, asal bukan bajingan. Kalaupun bajingan, satu kata: lawan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...