Langsung ke konten utama

Kuliner Blambangan

Sego tempong Mbok Wiwik, Jl. Agung Wilis, Temenggungan, Banyuwangi.

Pulang dari seminar sastra di Pantai Boom saya pesan grab car sebab panas terik tak tahan bila naik grab ride. Saya lihat tarif begitu murah, cuma 10 ribu ripis. Akan tetapi, titik jemput meruwetkan sopir. Terjadilah telpon-telponan menentukan di titik mana mesti bertemu.

Saya diminta berjalan dari dalam ke arah luar. Sopir memberi tanda "jembatan" sebagai titik temu, tepatnya dekat loket ticketing. Saya berjalan terlampau jauh, sudah sampai barisan motor yang macet mengantre di pintu masuk loket. Saya diminta kembali masuk ke dalam.

Seperti inilah wajah sego tempong.

Saya kembali jalan masuk, panas menyengat. "Posisi saya di sini, Pak," ujar sopir grab seraya menyebut jenis mobil, warna, dan plat polisi. "Dekat odong-odong, ya," sebut saya. "Ya, betul... betul... betul," jawab dia. Dan saya pun masuk mobil, setiupan angin pantai menerpa dada.

Jendela mobil sengaja dibuka sopir, angin pantai lebih nikmat daripada AC. Ya, sudah, saya nikmati saja, tak protes untuk minta AC. Dia tanya asal, saya jawab. Obrolan berlanjut menyinggung kuliner. "Ke Banyuwangi mesti nyoba nasi tempong dan rujak soto, Pak katanya."

Beginilah penampakan rujak soto.

Tak lupa dia tunjukkan tempat makan nasi tempong dan rujak soto itu waktu melewati jalan penjualnya. "Ini, Pak, nasi tempong, itu buka sampai malam. Di dalamnya tadi rujak soto," katanya seraya menambahkan ancer-ancer berupa nama toko. "Gak jauh dari hotel Bapak," lanjutnya.

Sore Sabtu (26/10), saya ajak istri ke sego tempong dan Minggu (27/10) pagi besoknya ke rujak soto. Sore minggu balik lagi ke sego tempong. Alhamdulillah segar rasanya kulineran di Blambangan. Jumat (25/10) sebelum "Penyair Goes To School" kami diajak makan rujak soto mbok Bret.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...