Langsung ke konten utama

Jambu Depan Rumah [2]

Siang tadi, selepas zuhur tunai kehendak memapras dahan dan ranting pohon jambu depan rumah yang deru suaranya kala dihantam angin menimbulkan perasaan ngeri. Malam ini hening, angin pun seperti menjauh.

Hanya seperti. Sesungguhnya angin malam tetap datang laksana perjaka mendatangi dara pujaannya di malam Minggu. Mengantarkan kehendak ingin berbincang, berpegangan tangan, berpelukan, berciuman mesra.

Atau jika tiba-tiba bahan pembicaraan seperti habis, maka saling berdiam adalah keputusan paling tepat. Biarkan hati yang saling berbicara, membawa pikiran pergi mengembara sejauh-jauhnya. Sampai tak tepermanai.

Begitupun angin yang datang mengendap-endap. Hendak menyampaikan rasa rindu pada dedaunan jambu, menidurinya di hamparan asbes, mencumbu mesra sampai desah keluar. Sayang, dedaunan jambu sudah kupapras tadi.

Disaat menyiapkan bahan postingan ini, angin masuk menyelinap lewat ventilasi. Hanya rasa, tidak ada lagi suara bergesa-gesa menabuh daun agar menciptakan seperti drummer memainkan stick-nya. Bunyi drum berdentum-dentum.


Sia-sia Membenci Angin

Puisi Zabidi Yakub

Bersia-sia rasanya membenci angin
Sebab, yang diharap redam suaranya
Menderu mengempaskan daun jambu
Menidurinya di hamparan asbes kusam
Suara desahnya menghasut kebencian

Siang tadi telah kutunaikan kehendak

Daun kupangkas sedikit, tidak habis
Mencacahnya jadi serpihan sampah
Mengantarnya ke pinggir ladang
Melompati parit yang kering airnya
Menyeberang sebilah titian darurat

Kemarau mencipta lamunan kosong

Siang tadi kubayar lunas niat malam tadi
Agar keriuhan di atas atap padam
Malam ini biar sepi menemani tidurku
Tak mengulang mimpi dikejar kelelawar
Mencari sisa panen yang kutinggalkan  

Sengaja kusisakanambillah bagian kalian

Malam saat semua orang menganyam mimpi 
Tentang suguhan kopi dari istri yang disayang
Esok pagi sambil menghitung berapa jambu  
Tidak terbawa kelelawar beranjak pergi
Teronggok di aspal yang sudah mengelupas

Sia-sia berkilah kelelawar panen diam-diam

 

Bandar Lampung, 29 Agustus 2023 | 21:35 |


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...