Langsung ke konten utama

“Bintaro-nya BDL”

Afrizal Malna menyampaikan materi workshop penulisan esai di hadapan peserta lomba menulis esai bertema Membangun Bumi Ruwa Jurai dengan Kearifan Lokal Lampung” yang naskah esainya lolos 15 besar. (foto: Jauza Imani)

Tampil sebagai pemateri pertama, Bang Afrizal Malna maju mendekat ke maja peserta workshop. Mungkin memang begitu cara yang ia lakukan agar serasa lebih akrab dengan audiens. Setelah sekian patah kata ia sampaikan, ia lalu meminta peserta menyebut identitas (nama lengkap dan tempat tinggal mereka).

Diawali Tri Purna Jaya, ia menyebut Kemiling alamat kediaman. Saya menyusul berikutnya, saya katakan, “tinggal di Kemiling juga.” Peserta berikutnya menyebut Kemiling juga dan juga. Gerrrr peserta. Ada lima peserta menyebut Kemiling. Wah, Kemiling jadi tempat yang bergengsi sepertinya. Jadi bangga.

Dalam hati, ngebatin, “Kemiling itu ibarat Bintaro-nya BDL.” (BDL = Bandar Lampung). Bintaro dahulu kebun karet, disulap pengembang jadi permukiman elit. Kemiling dahulu juga hutan dengan banyak tanaman pohon kemiri atau kemiling (bahasa Lampung), lalu dibangunlah Perumnas Langkapura.

Naluri bisnis dan dasarnya punya duit, pengembang swasta nimbrung memberdayakan tanah yang penuh alang-alang untuk disulap menjadi rumah berkelas premium. Perumahan khusus untuk instansi atau lembaga tertentu pun ikut tumbuh. Jadilah Kemiling seperti yang sekarang, permukiman impian.

Kecamatan Kemiling pada mulanya masuk pemangku kebijakan pada kecamatan Tanjungkarang Barat yang dimekarkan berdasarkan pada peraturan daerah Nomor 4 tahun 2001 Tanggal 3 Oktober 2001 Tentang Pembangunan, Penghapusan, dan Pemekaran Kecamatan dan Kelurahan di Kota Bandar Lampung.

Barangkali bukan faktor kebetulan sekian peserta workshop beralamat di Kemiling. Ini daerah strategis meski agak lumayan jauh dari pusat kota, tetapi dekat dengan gunung Betung yang dari perutnya mengalir sungai yang menjadi sumber air baku bagi PDAM. View gunung Betung begitu memesona di pagi hari.

Udaranya cukup sejuk karena belum terlampau dicemari polusi kendaraan bermotor. Ada beberapa destinasi wisata. Yaitu, Lembah Hijau, Bukit Sakura, Lengkung Langit 1 dan 2, Kampoeng Vietnam, Tebing Vietnam, Jukung Vietnam, Puncak Vietnam, Taman Betung, Lembah Durian Farm, Taman Kupu-kupu.

Belum selesai. Masih banyak lainnya. Yaitu, Kampung Hobbit atau Taman Kelinci alias Umbul Helau, Taman Rusa, Camp 91, dan yang paling dekat dengan rumah saya —hanya sepelemparan batu, bisa diakses jalan kaki— adalah Lembah BKP di Perumnas Bukit Kemiling Permai. Walau masih jauh dari sempurna.

Jadi, dengan banyak destinasi wisata begitu, tinggal di Kemiling bagaimana tidak jadi impian. Perumahan elit di seputar Kemiling, selain Citra Mas Estate dan Cluster Springhill, di Jalan Pramuka ada beberapa. Rumah toko bertebaran di sepanjang jalan Cik Ditiro. Cari kuliner dan gerai kopi dengan jenama populer ada di sana.

Walaupun belum ada pusat belanja sekelas mal besar, tetapi setidaknya dua toko swalayan (Superindo dan Chandra Mart) cukup mengakomodasi kebutuhan belanja kelas premium di samping pasar tradisional Pasar Rakyat Tani dan pasar tempel dekat SPBU Langkapura. Masih gak tertarik tinggal di Kemiling?

Untuk dunia pendidikan, di samping SD, SMP, SMA/SMK baik negeri dan swasta/yayasan, dua universitas ada di Kemiling lho, yaitu Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai (SABURAI) dan Universitas Malahayati yang sekaligus memiliki Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin. Hayo... masih gak tertarik juga tempat tinggal di Kemiling?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...