Langsung ke konten utama

Cerita Pengalaman

Bubar tahlil hari ketiga kemarin (21/12/22) malam, sambil beriringan pulang Pak RT kami bercerita pengalamannya saat dulu ditinggal istrinya pulang.

Mulai besok, empat hari, tujuh hari, empatpuluh hari, hingga seratus hari –hari-hari si suami dan anak-anaknya akan disergap rasa sepi dan pikiran kosong.

Ini bukan rekaan saya lho, kata Pak RT. ”Dahulu saya merasakan benar. Waduh, pikiran melayang-layang gak karuan, sulit untuk bisa tidur nyenyak” imbuhnya.

”Nah, setelah lewat seratus hari secara perlahan baru mulai bisa tidur nyenyak. Bukan takut ya, melainkan hanya semacam tak enak perasaan ini,” tambahnya.

Cerita pengalaman pribadi Pak RT terputus karena kami harus berpisah di mulut gang. Inti dari ceritanya bisa saya tangkap garis besarnya seperti di atas.

Masuk akal, serbarasa tak karuan tentu akan mengisi hari-hari orang yang ditinggal pulang oleh orang yang mereka kasihi. Suami ditinggal istri atau sebaliknya.

Anak ditinggal orang tua atau sebaliknya orang tua kehilangan buah hati. Tak terperi sedih dan susahnya menerima kenyataan bagi suami yang ditinggal istri.

Apalagi kalau suami itu terlampau tergantung sama istrinya. Semacam tipe suami yang tak bisa melayani diri sendiri. Kopi dan apa pun kudu dihidangkan istri.

Untuk suami tipe begini, gak bisa melayani diri sendiri, gak kuat sendiri dan kudu ada yang melayani, satu-satunya obat paling mujarab ya kudu rabi maning.

Istri pun akan sama sedih dan menderita bila ditinggal suami. Terutama istri yang tidak bisa mengganti gas elpiji dan ngangkat galon air. Waduh alamat rekoso.

Apalagi kalau tipe istri yang tak bisa berkendara. Naik motor gak berani, nyetir mobil gak bisa, yo wes bakal sengsara uripmu. Bakal gak akan ke mana-mana deh.

Secara terpaksa sih bisa. Masak iya gak akan ke mana-mana. Dengan cara ketergantungan sama transportasi online. Tinggal pilih, naik, turun, bayar. 

Serbarasa yang membayang di pikirannya di antara hari-H istrinya pulang hingga lewat seratus hari, Pak RT kami tentu butuh obat mujarab seperti di atas.

Apalagi usianya masih muda dan gagah. Dan tak berapa lama kemudian Pak RT kami pun rabi maning. Dengan istri yang sekarang dikarunia seorang anak.

Ya, sekuat apa pun sikap untuk merasa tegar, tak akan sepenuhnya bisa tegar seperti yang dipikirkan. Pikiran bisa saja mengingkari hati nurani. Mendustai diri.

Akan tetapi pada kenyataannya hati nuraninya akan berontak. Hati nurani yang jernih akan menemukan jalan terbaik buat melanjutkan kehidupan yang baru.

Kehidupan baru. Istri/suami pasca-ditinggal belahan jiwa, anak-anak setelah ditinggal orang tua. Maupun orang tua yang kehilangan buah hati tercinta mereka.

Kehidupan baru bagi suami seperti Pak RT kami di atas. Pun bagi ibu yang mencari sandaran baru baginya dan para anak-anaknya, ya kudu rabi maning.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...