Langsung ke konten utama

Adios NOVA

Ketika melanjutkan kuliah di Malang, 1986, saban Kamis sore saya belanja dua media massa. Tabloid Nova dan koran Surabaya Post. NOVA untuk bacaan my girl friend dan Surabaya Post ada tulisan di kolom ”bina manajemen” yang saya kumpulkan buat dikliping, sisa korannya dijual kiloan di pasar.

Rutinitas itu akhirnya membuahkan tumpukan tabloid yang diperuntukkan bagi wanita tersebut. Di akhir masa kuliah, NOVA saya urutkan nomornya dan membawanya ke tempat membundel. Ada beberapa bundel besar menjelma menjadi ”barang-mewah” yang belum tentu semua orang punya.

Selain dua media massa tersebut, ada satu majalah dewasa yang juga saban terbit (setiap minggu) tak pernah saya lewatkan untuk mengangkutnya dari kios koran ke rumah kost. Entahlah, yang namanya belanja bacaan melebihi kesenangan belanja kaset—yang juga pernah saya gilai pada masanya.

Ya, ada beberapa bundel Majalah MATRA yang jejaknya tertinggal di Jogja karena saya titipkan pada adek sepupu yang menikah dengan perempuan Sleman dan bermukim serta nyambut gawe di sana. Juga bundelan Majalah TEMPO yang saya beli di pasar loak samping Pasar Bringharjo, Jogja.

Beberapa bundel NOVA itu akhirnya saya boyong pulang ke rumah orang tua di kampung. Sayang, malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, begitulah perumpamaannya. Bundel NOVA itu dipreteli untuk dijadikan pembungkus. Maklum di kampung yang namanya koran barang langka.

Menjadikan kertas koran sebagai pembungkus tampaknya begitu praktis dan simple. Sangat beda dengan misalnya menggunakan daun atau kertas bekas pengemas semen yang cenderung kotor sehingga perlu dibersihkan terlebih dahulu. Itu pun kertas semennya yang model lama lho.

Kertas semen yang model kemasan semen sekarang sudah terbuat dari karung plastik. Dengan kata lain, semen sekarang bukan lagi dikemas dengan kertas berlappis-lapis melainkan hanya selapis karung plastik. Karena itu bekas pengemas semen sudah tidak bisa dimanfaatkan sebagai kertas bungkus.

Berhenti Terbit

Pengujung tahun 2022 ini Kompas Gramedia memutuskan menghentikan penerbitan Tabloid NOVA, majalah Bobo Junior, majalah Mombi, dan majalah Mombi SD. Tabloid NOVA terakhir edisi bundling No. 1818 dan 1819 terbit 22 Desember 2022. Bobo Junior No. 20 terbit 21 Desember 2022.

Majalah Mombi terakhir No. 08 terbit 28 Desember 2022, dan majalah Mombi SD terakhir No. 213 terbit 21 Desember 2022. Kalau dari namanya Bobo Junior yang berhenti terbit, apakah berarti majalah Bobo reguler masih akan tetap terbit? Untuk kejelasannya pantau saja di toko buku Gramedia.

Di samping empat media milik Kompas Gramedia Group di atas, satu media milik Mahaka Group yaitu harian republika juga memutuskan berhenti terbit. Terbitan edisi terakhir pada 31 Desember 2022, dan sepenuhnya akan beralih ke format digital melalui kanal republika.co.id dan republika.id.

Banyak faktor pemicu media massa bertumbangan. Di antaranya pendapatan dari iklan sebagai sumber penghasil ”devisa” bagi keuangan perusahaan kian berkurang. Jumlah pelanggan yang menyusut dari waktu ke waktu pun jadi pemicu. Kondisi itu membuat media massa lama-lama lesu darah.

Tetapi, yang paling besar pengaruhnya bagi keberlangsungan sebuah media massa untuk bertahan tetap terbit adalah gempuran teknologi digital. Koran cetak bukan lagi menjadi satu-satunya medium untuk mengakses informasi. Smartphone memungkinkan untuk menggantikannya.

Era digitalisasi membuat lansekap media berubah begitu pesat. Munculnya media online membuat media konvensional seperti veteran perang. Dengan smartphone di tangan di detik itu juga orang bisa dapat informasi tanpa harus menunggu koran terbit keesokan harinya. Begitu cepat, begitu mudah.

Analogi veteran perang tentu tak lebay amat. Apalagi kalau veteran yang sudah uzur. Begitupun media konvensional yang membutuhkan waktu untuk menjangkau pembacanya di pelosok daerah, kalah pamor dengan media online yang begitu mudah diakses dari ruang personal yang privat sekalipun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...