Langsung ke konten utama

Kukira Omicron

Pulang ”kondangan masa ppkm” yang jadi judul post yang lalu, malamnya badan dilanda demam. Nggak terlalu panas sih, tapi nggak juga dingin. Hanya tidak seperti kondisi normal.

”Wah, jangan-jangan ini Omicron,” pikirku.

Ngebaca berita di internet, Omicron tidak bergejala. Sama halnya dengan sakit flu biasa dan itulah yang kurasa. Badan hangat, hidung meler, ada batuk juga. Jamaknya influenza.

Oke, gapapalah. Gak mengkhawatirkan.

Seperti petunjuk pada berita di internet, demam oleh Omicron bisa diatasi dengan nguntal obat paracetamol, multivitamin, istirahat yang cukup dan perbanyak minum air putih hangat.

Esok harinya demam mereda, alhamdulillah.

Etapi, di badan utamanya perut dan punggung serta lengan bagian atas keluar ruam merah. Keadaan ini sudah sering terjadi sejak dua-tiga tahun ini. Menjelang lansia baru muncul begitu.

Seperti aneh, sudah tua baru mengalaminya.

Seingatku –atau hanya perasaan– di masa kecil tak pernah aku alami demam disertai ruam merah ini. Akan tetapi barangkali pernah, namun aku tak begitu ingat persisnya kapan terjadi.

Kejadian masa kecil tak pasti ingat di masa tua.

Biasanya sebelum keluar ruam merah di badan, terlebih dahulu kaki terasa pegal-pegal. Hanya pegal di kaki, tidak disertai demam. Kemarin didahului demam bukan pegal-pegal di kaki.

Itulah sebab kukira Omicron. Yah, hanya kukira.

Ternyata demam kemarin hanya jalan untuk keluarnya ruam merah di badan. Ada yang menyebut itu penyakit tampek. Dalam istilah medis dikenal dengan nama eksantema viral.

Jangan salah, tampek beda dengan campak.

Bedanya, demam pada tampek panasnya tidak terlalu tinggi, naik turun berfluktuatif. Sedangkan demam pada campak panasnya tinggi sehingga kadang memicu terjadinya kejang demam.

Demam disertai kejang, bikin Ibu-Ibu khawatir.

Ruam merah muncul saat demam campak sedang terjadi, sementara demam tampek ruam merah baru muncul setelah demam mereda atau setelah demamnya sembuh. Itu bedanya.

Paham bedanya begitu, mudah mengenalinya.

Setelah melihat ruam merah muncul di badanku, aku jadi lega. Ah, kukira Omicron, gak tahunya cuma tampek kembali datang mencandai. Sepertinya nanti masih akan sering mencandai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...