Langsung ke konten utama

Selamat Jalan, Ibu

Selamat jalan Ibu/Embah Uti/Uyut Uti kami yang tercinta, Hj. Soemarti binti Moehammad Soekemi (Lahir 4 Juli 1921, Wafat 1 Desember 2021). Maafkan kami yang jauh bila tidak sempat menyaksikanmu dari dekat saat berangkat menghadap Rabb.

Lahir dan besar di zaman penjajahan kompeni, tentu betapa berat perjuanganmu. Selepas menikah, demi menghindari intaian musuh bangsa sehingga sempat menyelamatakan diri ke Singapura (tahun 1942), karena dalam dirimu mengalir titisan darah keturunan orang Johor.

Demi cinta Tanah Air jua, ketika lumayan reda riak pertikaian bangsa pribumi dengan kompeni sehingga memutuskan pulang ke pangkuan Ibu Pertiwi. Melahirkan satu per satu anak dan membesarkannya dengan kesederhanaan hidup di masa awal kemerdekaan.

Dalam usiamu yang panjang, Ibu tentu begitu bahagia menyaksikan kesuksesan anak-anak yang dulu dibesarkan dengan hasil berladang dan sawah tadah hujan. Allah Maha Pemurah, rezekinya tercurah meski hanya umpama hujan gerimis, bukan yang mengalirkan banjir bandang.

Artinya, dalam kecukupan rezeki di masa awal kemerdekaan dan rongrongan aksi massa komunis jelang pecahnya gestapu, sesudahnya, dan seterusnya. Satu per satu anak disekolahkan hingga perguruan tinggi dan ”jadi orang” yang kelak menyimburkan kebahagiaan bagimu.  

Tak berhenti di anak/mantu, cucumu pun satu per satu sudah menunjukkan kesuksesan. Menjalani passion masing-masing. Tentu berkat doamu jua, sebagaimana dahulu engkau mendoakan anak-anak dan betapa doa seorang Ibu begitu keramat. Senantiasa diijabah-Nya.

Dalam keheningan pagi awal Desember ini Ibu pulang ke pangkuan bumi. Doa kami mengiringi kepergianmu. Selamat jalan. Tabaarakal lazii biyadihil mulku wahuwaala kulli syai-in qadir. Allazi khalakal mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanuamalaa, wahuwalaziizul ghafuur.

Yaa ayatuhan nafsul mutmainnah, irjii ila rabbiki radiyatam mardiyyah, fadkhuli fiibadi, wadkhuli jannati.

 


Replika Ingatan

Puisi Zabidi Yakub

Kematian adalah kebahagiaan dalam bentuk lain
Ada syarat agar yang mati menemu bahagia
Kita yang ditinggalkan harus rela melepaskan
engan tidak bersedih dan menangisi kepergiannya

Sedih itu adalah ego sesaat, ego karena kehilangan
Kehilangan orang yang biasa selalu ada di samping kita
Kalau kita yang ditinggalkan ini, bisa rela melepaskan
Yang mati menuju bahagia

Kematian adalah kebahagiaan dalam bentuk lain
Ada syarat agar yang mati lempang jalan
Kita yang ditinggalkan harus sadar diri sepenuhnya
Tidak menggali lubang perasan terlalu dalam

Yang mati, namanya juga mati, sudah tak merasakan
Kita yang hidup ini, digelitik ingatan
Setiap saat sepi, getir kehilangan, dan gigil kenangan
Bergantian menampakkan replika ingatan


Bandar Lampung, 14 Desember 2020


*) Ini salah satu dari 30 judul puisi tentang kematian, semuanya saya tulis mulai 15/10/2020 hingga 31/12/2020 di dua tempat, Bandar Lampung dan Pacitan. Semoga kelak diterbitkan menjadi buku. Aamiin.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...