Langsung ke konten utama

Bebas Masker


Namanya Muharto, orang Krui. Saya appreciate dan respeck sekali karena setiap salat jumat ia selalu mengenakan masker. Sejak saya menyandang predikat double vaxxed, terbit keberanian untuk melepas masker bila jumatan. Alasan demi kewaspadaan dan masih lumayan banyak jemaah yang pakai masker, keberanian itu saya tunda dulu lah.

Namun, semakin ke sini semakin sedikit saja yang memakai masker. Semakin sedikit orang-orang minoritas di dalam masjid setiap jumat. Betapa tidak enaknya jadi warga minoritas, di dalam menegakkan protokol kesehatan 3M ini saya betul-betul menghayati betapa tersanderanya perasaan orang yang terselip sendiri di tengah keramaian.

Dulu di RT kami ada dua keluarga nonmuslim. Yang satu rumahnya tepat di dekat masjid, hanya dipisahkan jalan. Tak tahan terhadap ”kegaduhan” TOA masjid setiap azan berkumandang, lebih-lebih waktu subuh saat sedang enak-enaknya ngorok, akhirnya dia jual rumah dan pilih ngontrak berpindah-pindah. Sekarang entah di mana.

Saat mereka membeli rumah, pada mulanya tanah yang akhirnya dibangun masjid adalah lahan terbuka yang disediakan pengembang sebagai fasum. Sempat menjadi tempat anak-anak main sepak bola. Setelah negosiasi dengan pengembang, separuh lahan jadi masjid berukuran kecil. Sisa halaman masih bisa tempat anak-anak bermain sepak bola.

Satunya, rumah kami saling berpunggungan. Setelah tak satu pun mau menggantikan Ketua RT yang dilengserkan, ia menyatakan diri bersedia. Jadilah ia Ketua RT, tapi tak sampai satu periode ia mengundurkan diri. Untung saya tak ikut dalam rapat warga melengserkan Ketua RT kala itu, karena saya bekerja malam hari di sebuah media massa.

Tinggal keluarga di belakang rumah kami ini, satu-satunya warga nonmuslim. Terselip jadi minoritas. Urusan ibadah yang sifatnya hubungan dengan Allah Swt seperti kegiatan pengajian warga atau tahlilan, mereka tidak akan ikuti. Tapi, urusan muamalah yang sifatnya hubungan antarsesama dan lingkungan sekitarnya, saling memegang toleransi.

Belajar Lepas Masker

Selasa lalu saya melayat tetangga yang wafat, saya perhatikan sedikit sekali orang yang memakai masker. Bila dihitung tak sampai sepuluh. Saya yang dari rumah sudah memakai masker, merasa tak nyaman sendiri, masuk yang sedikit itu. Akhirnya, masker saya lepas dan masukkan ke dalam kantong celana. Belajar lepas masker.

Jumat tadi siang, iseng-iseng saya tak memakai masker. Begitu bubar, ketemu Muharto di pintu masjid, saya lihat ternyata ia juga sudah tidak memakai masker. Saya lihat anak bujang saya juga tidak memakai masker. Saya tabok pantat Muharto dengan sajadah seraya berkata, ”Lepas masker kita.” Ia hanya tertawa renyah, hehehe. Sambil jalan kami ngobrol tentang lain hal.

Sebenarnya keinginan untuk terus patuh prokes 3M saya targetkan hingga akhir bulan ini. Begitu memasuki tahun 2022 baru mulai melepas masker. Tetapi, teori kadang tidak sejalan dengan praktiknya. Teorinya ingin lepas masker, namun apa daya varian baru omicron mengancam terjadinya gelombang ketiga kasus Covid-19.

Bila benar varian Omicron lebih menular daripada varian Delta yang membuat PPKM Darurat (3—20 Juli) diperpanjang menjadi PPKM Level 3 dan 4, lalu diperpanjang terus  secara periodik setiap dua pekan menjadikan kegiatan masyarakat tak leluasa. Sekolah daring terus saja berlanjut, work from home tak jelas kapan berakhirnya.

Ancaman varian omicron mau tidak mau membuat jirih siapa pun. Tak ada cara lain memproteksi diri selain cepat vaksin dan tetap pakai masker, kalau ingin yang lebih mumpuni lakukan 3M, 5M, atau 6M sekalian. Artinya, buang jauh-jauh rasa tak percaya diri karena merasa menjadi minoritas di tengah orang banyak yang abai protokol kesehatan.

Entahlah, apakah cukup hari jumat ini saja saya (belajar) melepas masker? Jumat depan harus dikuat-kuatkan nyali menjadi minoritas. Agak susah memikirkannya. Keberanian (belajar) melepas masker itu lantaran saya sudah double vaxxed. Double vaccinated yang telah saya terima, memang membuat perlindungan diri lebih baik.

Masker dan vaksin, dua sejoli yang tepat dalam perlindungan diri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...