Langsung ke konten utama

Jagongan Rasa Dodol

Jenang dodol Pacitan merek Sari Rasa (manis, lezat, nikmat)

Kemarin dapat kunjungan sepupu dari Bandung. Mereka habis pulang kampung halaman leluhur. Biasa, banyak cerita diuar dalam jagongan di ruang keluarga dengan suguhan cemilan tradisionil.

Kebetulan istri yang baru pulang dari Pacitan membawa dodol Sari Rasa dan klanting. Klanting dari Pacitan ini gurih dan maknyus rasanya belum saya temukan tandingannya di Kota Tapis ini.

Klanting Metro yang tagline ”Dang Lupa” di kemasannya, huh nggak kelawan sama klanting Pacitan. Padahal klanting Pacitan ini tak ada merek apa pun di kemasannya, karena saat membelinya dikiloin.

Dodol Pacitan Sari Rasa, ya memang rasanya ”sari” dari dodol daerah mana pun. Legit. Lezat, dan empuknya bikin ngnangeni. Mudik ke Pacitan gak makan dodol serasa gak pulang kampung, gitu.

Saya pernah berseloroh kepada istri, ”Ke Pacitan gak makan dodol sama saja gak mudik”. Oleh karena itu, di samping untuk tombo kangen, bawa dodol juga untuk oleh-oleh kepada para tetangga.

Pandemi Covid-19 telah jadi penghalang setiap orang untuk pulang. Anak sulung kami di Surabaya tersandera oleh pandemi, dua tahun ia gak mudik. Bersilaturahmi dengan saudara pun terbatas.

Waktu ketat-ketatnya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di awal pandemi, kami tak bisa pulang ke Pacitan menengok Ibu yang sakit. Pas ada pelonggaran Juni 2020, ini waktunya budal.

Pulang ke Pacitan dan mampir ”pulang ke kotamu” di Jogja, terasa betul beda antara masa pandemi dengan masa sebelum pandemi. Pedagang di Jl. Malioboro sepi pembeli, pemasukan minim. Sedih.

Tingkat okupansi hotel juga menurun. Bahkan ada yang tutup dan merumahkan karyawan. Pas pulang kembali Desember 2020 pun masih sama. Pedestrian Malioboro dijaga ketat, wajib masker.

Maret 2021 anak bungsu kami wisuda, lagi-lagi kami mudik ke Pacitan dan ke Jogja. Kondisi masih begitu-begitu saja. Hanya anak yang diwisuda yang ke kampus, orang tua tak boleh hadir di kampus.

Cam manalah wisuda pakai masker. Nggak endah banget. Tapi, masih beruntung dan wajib disyukuri. Lah yang wisuda daring dari rumah, lebih nggak endah lagi, kan. Keberuntungan itu aneka rupa bentuknya.

Beruntung masih sehat, masih bisa berjalan, bisa mudik, bisa sowan saudara. Semuanya itu patut kita syukuri. Kalaupun terkendala mendatangi, ya pas didatangi itu sudah cukup bisa menyehatkan.

Yang nggak menyehatkan kalau banyak ghibah mengandung bawang sehingga pedas. Bisa bikin melilit ulu perasaan dan akhirnya muntah. Mau nggak didengar gimana caranya. Kuping tak bisa dimaskeri.

Wong sono yang ngerumpi. Sini cukup menyimpan dalam hati. Jangan diambil hati tapi. Ya anggap saja untuk tambah asupan informasi. Bukankah selama ini minim dapat info yang begitu berharga.

Bisa jadi sepulang dari tempat lo, lo yang digoreng, dijadikan bahan rumpi dan ghibah. Cilaka dan mampus lo. Rumus ghibah itu, di depan lo orang lain yang dighibah, di belakang, lo yang dighibahin. 

Di era digital ini, semua yang bisa disadap akan jadi yang tak sedap, yang diperhatikan akan jadi yang diprihatinkan. Ya, segala kemungkinan yang tak mungkin bisa jadi mungkin yang memungkinkan.

Nah, bingung, kan.

Begitulah adanya. Silaturahmi bisa memperpanjang umur, katanya. Itu kalau silaturahmi yang sehat membawa kebajikan. Luwih apik lagi kalau membawa bahan iktibar untuk saling menyadarkan.

Tapi, kalau silaturahmimu membawa ghibah, kau hidangankan jadi santapan. Dan pulang membawa bahan olahan ghibah. Kemudian kau hidangkan pada yang lain, aduh alang sayangnya silaturahmi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...