Langsung ke konten utama

Budaya Jaga Indonesia dari ’Buaya’

Dirjen Kebudayaan Kemdikbud Prof Dr Kacung Marijan MA menegaskan bahwa kebudayaan penting untuk pembangunan, karena budaya-lah yang menjaga Indonesia dari ”buaya” atau sikap tidak berperikemanusiaan. ”Jadi, tugas kebudayaan adalah menjaga hilangnya huruf d dalam kata budaya agar tidak menjadi buaya,” katanya saat membuka NU di Tahun Kebudayaan 2014 di teras utara Gedung PWNU Jatim, Minggu (21/1/2015) sore.
Dalam acara yang digelar oleh Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur itu, ia menjelaskan NU sendiri memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kebudayaan Nusantara, seperti peran Lesbumi.
”Bahkan, NU merupakan komunitas yang lahir dan hidup dalam kebudayaan, karena Nahdlatul Ulama adalah Islam Nusantara yang menunjukkan bahwa Islam dan kebudayaan itu tidak bertentangan, bahkan keduanya bisa saling berkolaborasi,” katanya.
Menurut Guru Besar Ilmu Politik Unair itu, bila kebudayaan menjadi ”arus utama” dalam pembangunan, maka pembangunan akan semakin memiliki makna, karena kebudayaan itu memiliki tiga dimensi.
”Tiga dimensi penting dalam kebudayaan adalah sistem nilai, ekspresi, dan materiil. Sistem nilai itu berkaitan dengan ketuhanan dan etika, sedangkan ekspresi itu berkaitan dengan bentuk seperti lukisan, tari, dan sebagainya. Untuk materiil adalah bentuk fisik seperti candi dan bangunan bersejarah,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Kacung Marijan melaporkan perkembangan pembangunan Museum Islam Nusantara di kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang, Jatim. ”Tahun ini, saya membangun 39 museum, termasuk Museum Islam Nusantara di Jombang itu,” katanya.
Ia menargetkan Museum Islam Nusantara itu akan selesai dibangun pada akhir tahun 2015. ”Insya-Allah bertepatan dengan Muktamar NU 2015 akan bisa terselesaikan,” kata Kacung yang juga bertekad membangun Laboratorium Kebudayaan di SMA/SMK itu.

LAMPUNG EKSPRES, 22 DESEMBER 2014 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...