Langsung ke konten utama

Di Ambang Galau

DAMRI Executive Class yang sudah kukantongi tiketnya, setia menunggu sampai kunaik baru berangkat.

Sempat delayed lagi pesawat dari Ngurah Rai ke Soekarno-Hatta, Senin kemarin. Landing pukul 17:17 WIB. Pengin mengejar waktu ke Stasiun Gambir, maxim jadi pilihan. Ah, malah waktu jadi kehambat oleh chat-chat-an di mana saya harus menunggu.

Mana tadi menunggu bagasi lama, baru di 'gerobak' keempat sepertinya rombongan tas saya datang. Saya batalkan maxim, naik Damri saja. Saya tanya sopir bisa sampai Gambir pukul 19:00 nggak? "Wah, ya, nggak bisa. Ini jam sibuk, pasti macet," jawabnya.

"Saya ke Lampung bus Damri eksekutif pukul 20:00, Pak," jelas saya. "Wah, kamu ikut yang pukul 22:00 saja. Tapi, ya, beli tiket lagi, entah masih ada apa nggak, soalnya antre," katanya. "Coba saya hubungi teman saya, masih kebagian tiket nggak," lanjutnya.

Oke, nggak apa-apa tiket seharga 320K hangus asalkan dapat tiket 255K yang pukul 22:00. Adalah komunikasi di antara sopir dan kawannya di Gambir itu. Saya mencium aroma permainan. Saya berusaha sabar sesabar-sabarnya. Semoga waktunya nutut.

Jadwal bus Damri ke Lampung pukul 20:00, tapi ini Damri baru keluar bandara pukul 19:28, ya, terang nggak nutut tho, tetapi siapa tahu ada keajaiban. Saya ikuti alur bus berjalan, jalanan lengang, alamat bakal lancar, tetapi nutut nggak, ya, nggak tahu.

Bah, Monas terlihat. Berarti Stasiun Gambir dua kali ngegas sampai. "Masih bisa, Mas. Itu busnya, sampeyan ke meja itu ceck in tiket," kata sopir dari bandara. Saya sodorkan 100K karena ia tadi mengupayakan booking tiket yang pukul 22:00. 

Ya, anggap pengganti maxim yang nggak jelas tadi. Alhamdulillah, di ambang galau teratasi. Ketika saya turun bus Damri dari bandara, sebenarnya memang masih ditunggu. Bersama saya masih ada satu orang penumpang belum datang. "Wajib" ditunggu itu.

Tiket saya serahkan, dibubuhi nomor lambung bus. Saya haturkan terima kasih. Saya merapat ke bus, bagasi tertutup tidak bisa memasukkan tas. Datang seorang kru bus bertanya bus yang mana? "Bus ini," jawabku. "Tunggu, ya, saya panggilkan," katanya.

Pukul 20:04 saya foto nomor lambung bus, saya kirim ke WA grup keluarga. "Alhamdulillah masih kekejar." Luar biasa, dari Soekarno-Hatta pukul 19:28, tiba di Stasiun Gambir pukul 19:57. Cukup 30 menit saja. Ternyata keajaiban benar hadir membersamai.

Di tengah saya nego supaya sopir bantu booking tiket yang pukul 22:00, datang seseorang, sepertinya tukang ojek menawarkan naik ojek saja. "Kamu salah, bus ke Lampung dari Kalideres kan banyak," katanya. Batinku, sok tahu elo nyalah-nyalahin gue.

Dalam perjalanan saya tertidur. "Ya, persiapan naik kapal," tiba-tiba kru bus membuat saya terbangun. Kuhidupkan hape melihat waktu pukul 23:00. Buat memadamkan kelaparan, beli nasi lauk ayam jualan penjaja di ujung belalai jembatan penyeberangan.

Lumayan, yang penting kenyang dan ngantuk balik menyambangi. Maksud pengin rehat di ruang duduk, eh, ada live music. Ngacir saya cari tempat yang menjanjikan ketenangan. Turun ke lantai 2 duduk di kursi dan tertidur pulas. Terasa segar sesudahnya.

Terbangun oleh suara dari ruang informasi, kapal akan sandar di pelabuhan Bakauheni. Kubuks hape melihat waktu pukul 01:00. Kembali tidur, terbangun oleh suara kru mengingatkan sudah sampai Stasiun Tanjungkarang. Ada beberapa penumpang turun.

Wah, saatnya untuk terus melek. Bus melaju meninggalkan stasiun, menyusuri jalan Teuku Umar. Makam pahlawan, flyover MBK, UBL, IBI Darmajaya, Ramayana, terlewati dengan cepat dan bus belok ke arah jalan menuju pool Damri. Ada yang turun.

Keluar pool, bus melaju ke jalan By Pass Soekarno-Hatta menuju ke arah Kota Agung lewat jalan Raden Gunawan. Sebelum bus belok memasuki jalan itu, saya diturunkan di situ. Dua motor pengojek datang menghampiri, bertanya ke mana? BKP, jawab saya.

Ia tawarkan jasa pengantaran. Saya tanya ongkos pakai bahasa Lampung, "Pira?", "25K," jawabnya. Saya tawar 20K, sepakat, berangkat. Terpaksa tas saya ia pangku di depan. "Berat sekali, baju semua apa isinya," tanyanya. "Iya, berat, ya, jawab saya."

Padahal, ada buku dikasih teman Rancage. Akhirnya saya kasih 25K karena ia pangku tas menahan berat. Tiba di rumah pukul 03:05 pagi, saya telepon istri membukakan pintu, tidur sebentar. Bangun, salat. Leyeh-leyeh bentar, siap-siap nyuci besar-besaran.

Inilah perjalanan paling menggalaukan. Namun, ketika bus Damri yang menunggu dua penumpang bagai "malaikat tak bersayap", saya jadi lega. Penerbangan dari Bali ke Jakarta yang sempat delay tidak terlalu bikin penat hati karena UWRF 2023 bikin bahagia. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...