Langsung ke konten utama

Mencari Kebenaran

ilustrasi foto, hanya penghias belaka, foto koleksi pribadi

Atas nama agent of change, para mahasiswa turun ke jalan menjadi demonstran, mencari kebenaran. Tetapi di tengah-tengah mereka, menyelinap perusuh-perusuh yang, entah atas nama apa dan mencari apa? Perusuh-perusuh yang menyaru dengan menggunakan atribut hampir atau sama persis dengan yang digunakan para mahasiswa. Atribut seperti misalnya, jaket almamater, bendera atau panji organisasi kemahasiswaan yang mereka aktif di dalamnya, atau simbol-simbol lain yang entah dari mana mereka dapatkan. Mereka barngkali memanfaatkan situasi untuk menciptakan kerusuhan dan mengambil manfaat darinya. Bisa jadi dari elemen mahasiswa sendiri pun ada pihak-pihak yang menyempal. Tidak sungguh-sungguh mencari dan menyuarakan kebenaran, tetapi mengusung kepentingan lain di luar misi utama melakukan aksi demo.     

Mencari kebenaran itu sulit. Mewujudkan kebenaran lebih sulit lagi. Sama seperti menegakkan benang basah. Yang mudah, barangkali menciptakan kerusakan. Itulah mengapa para demonstran berorasi mengulurkan aspirasi sambil membakar ban. Sayangnya, aspirasi yang mereka ulurkan tidak ada yang menyambut. Membuat mereka tidak puas dan mencari upaya lain, menyampaikan pesan. Upaya lain itu banyak alternatifnya, tetapi yang mereka pilih melempar batu ke mana saja arahnya, ke siapa saja sasarannya. Masih belum puas, mereka robohkan pagar gedung, merusak objek vital nasional. Apa hasilnya? Bukan kebenaran yang muncul melainkan kerusakan. Siapa yang rugi? Mengapa bisa terjadi rusuh? Karena itu tadi, bisa jadi dari elemen mahasiswa itu sendiri ada yang menyempal, yang digiring egonya sendiri atau ego orang biadab demi kepentingan biadab pula.

Mencari kebenaran sama seperti mencari kekasih ideal. Orang yang memiliki kekasih tentu merindukannya siang malam. Ingin mendekap dan membelainya sembari menggumamkan kata sayang, pujian, dan rayuan. Ingin selalu dekat dan tak berkedip memandangnya. Ingin menjaga dan mendoakan agar sang kekasih tak pergi jauh apalagi ngilang. Sayangnya, sang kekasih adalah benda bernyawa yang bisa bergerak ke mana saja dan menetap di mana saja. Wujudnya lentur tapi tak mudah patah, mudah bergerak berpindah-pindah. Kebenaran itu sama seperti cinta, kejujuran, keadilan, kebaikan, dan hal positif lainnya yang mudah diklaim oleh siapa saja yang mengatakannya sebagai miliknya. Tetapi, jalan mencari kebenaran seringkali berbenturan antara yang satu dengan lainnya dan tak bisa ditemukan jalan terangnya. Yang ada hanyalah jalan gelap menuju kebenaran.

Kebenaran itu tak pasti rumusnya. Setiap orang bisa dan boleh merumuskannya sendiri-sendiri. Karenanya, bisa terdapat 1001 macam kebenaran menurut versinya masing-masing. Jadinya tidak mengheran kalau kata Karneades, seorang filsuf Yunani, ”Kebenaran itu urakan dan liar. Dia sama sekali tak punya norma. Akal, alasan, kilah, opini, dan apa saja bisa dilakukan demi dia–yang sebenarnya cuma cara untuk menipu.” Demi melakukan penipuan, orang memanipulasi kebenaran. ”Tindakan mengutak-atik rumusan kebenaran untuk membela kejahatan adalah kriminal,” kata Chrisostomus. ”Sejarah dan pengalaman tiap individu sarat bukti bahwa kebenaran amat rentan sebab kebohongan bersifat abadi,” kata Samuel Langhorne yang lebih sohor dengan nama Mark Twain. Kebenaran itu bagai barang branded di mal yang tak mungkin terbeli oleh orang miskin.

”Kebenaran itu mengapung di atas kepalsuan, seperti minyak di atas air,” kata penyair dan dramawan Spanyol Miguel de Cervantes Saavedra. ”Kebenaran tak pernah rumit atau pelik. Kebenaran jadi meragukan karena muncul opini, kilah, dan akal-akalan model baru. Maka manusia harus punya pegangan. Tuhan menganugerahi akal budi agar manusia mampu memilih antara kebenaran dan kepalsuan. Manusia harus memilih, sebab tak bisa memiliki keduanya sekaligus,” kata Ralph Waldo Emerson, penyair AS yang pernah jadi menteri. Benar, Tuhan menganugerahi manusia akal budi. Agar manusia bisa memisahkan mana ”minyak” dan mana ”air”, mana kebenaran dan mana kepalsuan. ”Wala talbis ul haq bil bathil, janganlah kalian campuradukkan antara kebenaran dan kebatilan,...,” tegas Allah Swt dalam firman-Nya pada QS. Al-Baqarah [2] : 42.

Kalau tak bisa memiliki kebenaran dan kepalsuan sekaligus, kalau dilarang mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan, maka mutlak harus memilih salah satu saja, mau memilih yang benar atau memilih yang palsu. Untuk bisa memilih, Ernst Heinrich Haeckel, biolog Jerman, memberikan panduan. ”Kebenaran adalah tujuan pemaduan pemikiran (spekulasi) dengan pengalaman (pengetahuan empiris) di bawah bimbingan akal.” Pertanyaannya, apakah benar resep yang diberikan Haeckel di atas mudah mempraktikkannya? Tentu sulit. Mengapa sulit? Karena ”Mengatakan kebenaran itu sukar, sebagaimana menyembunyikannya,” kata Baltasar Gracian, penulis Spanyol. Meski sulit, kebenaran harus diuji. Itu menurut Oliver Wendell Holmes, mantan ketua Mahkamah Agung AS. Cara terbaik mengujinya ialah melemparkannya ke tengah masyarakat, untuk diterima atau ditolak.

Kalaupun kebenaran harus diuji tapi ujian itu tak membuat yang sulit jadi mudah. Penyair, filsuf, dan kritikus Inggris Samuel Taylor Coleridge berpendapat, ”Kebenaran itu bukan kenyataan, bukan argumen dan bukan kesimpulan sebab substansinya tergantung sumbernya. Makna kebenaran adalah rangkuman segala legitimasi yang terkumpul dari aneka fakta yang terbukti membahagiakan, yang cuma bisa ditemukan dalam laku keutamaan. Maka, kebenaran adalah pengetahuan yang mampu memahami keutamaan sebagai sumber kebahagiaan.” Menarik benang merah dari pendapat orang-orang pintar di atas, ternyata tafsir kebenaran bisa mulur menjulur ke mana-mana. Pencarian tentangnya dilakukan sejak zaman purba. Dia jadi sejarah dan saksi masa lalu, jadi teladan masa kini, dan jadi monitor masa depan. Sampai kapan pun orang mencari dan merindukannya. (ZY)

 

BKP, Senin, 12 Oktober 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...