Langsung ke konten utama

Serba-Serbi Berlebaran

Masih tentang perbedaan. Di tengah kumpul keluarga di hari raya idulfitri, mencuat cerita tentang yang berlebaran ikut Muhammadiyah dan NU. Sepasang suami istri berbeda jalan keyakinan dalam menuntaskan puasa Ramadan.

Sang suami yakin hilal sudah muncul pada hari Kamis sore. “Saya lihat dengan mata kepala sendiri bulan sabit tipis itu besar dan bundar dari sekitar kampus ITERA. Makanya saya putuskan ikut berlebaran ala Muhammadiyah,” kilahnya.

“Saya tetap berkeyakian mengikuti keputusan pemerintah,” debat istrinya. Dia memutuskan melenjutkan puasa pada hari Jumat saat suaminya sudah mengakhirinya. Yang menarik kemudian, salat Id-nya sama-sama hari Sabtu.

Mereka berdua berpegang teguh pada keyakinan masing-masing dan sama-sama menghormatinya. Itulah esensi dari sebuah toleransi, boleh berbeda asal tidak diperuncing jadi perdebatan yang tidak produktif apalagi perselisihan.

***

Sejak Jumat sudah menikmati ketupat opor ayam (lebaran ala Muhammadiyah), tetiba Jumat dinihari pukul 01:30 saya dibangunkan rasa ingin BAB. Setelah saya tunaikan hajat membuang sampah hasil proses metabolisme, perut mules.

Seusai qiyamul-lail, lagi kehendak membuang limbah di usus besar dan rektum. Lagi, perut saya mules sesudahnya. Beruntung di kotak obat selalu tersedia obat anti-diaré. Alhasil dua tablét dikirim ke lambung untuk “bertempur.”

Ternyata “pertempuran” obat anti-diaré yang saya minum tidak mampu menjinakkan kehendak ke belakang terus, saya telan sebutir tablet sisa saat istri saya berobat waktu kena diaré pertengahan Februari lalu. Ternyata cespleng.

Obatnya kecil seukuran obat sakit gigi Kataplam. Tetapi, lebih mampu menjinakkan tekanan kehendak BAB terus. Total ada empat kali saya membuang limbah ketupat opor ayam yang saya nikmati senikmat-nikmatnya sejak Jumat.

Obat kecil ini terbilang manjur. Tetapi, éféknya bikin saya mengantuk. Mengendarai motor, berapa kali saya ke pinggir. Sebagai pamungkas, soré sehabis Asar adalah kloter terakhir yang harus diberangkatkan ke lubang klosét.

***

Bocil melek duit. Begitulah narasinya. Seorang bocil perempuan sowan lebaran ke rumah Datuk Ucup. Seusai salim dia menagih THR. Andung (istri Datuk) lalu membuka dompét dan menyodorkan uang Rp5.000 emisi baru.

Ternyata tak cukup puas menerima selembar uang 5.000 baru itu, dia lalu bertanya, “Buat adék aku mana?” Kami yang ada di situ kontan terkekeh melihat tingkah polos si bocil. Dalam hati, ada bibit mental nggeragas nih bocil.

Bagaimana negeri ini tidak penuh dengan orang-orang yang berperilaku koruptif dan manipulatif, wong sejak bocil seperti itu saja sudah tahu bagaimana cara memuaskan diri dengan hasil yang berlipat berkedok “buat adék aku.”

Mental serakah seperti itu secara logika rasanya tidak masuk akal kalau dia ciptakan sendiri tanpa ada yang mengajari atau ada yang menyuruh. Walaupun okelah tidak apa kan setahun sekali. Masak iya nggak dimaklumi?

Benar, namun juga salah. Benar dari sisi THR adanya satu tahun sekali. Salah bila perilaku atau mental koruptif dan manipulatif seperti itu dibenarkan. Sowan seyogianya bertujuan silaturahim lebaran bukan ngarép diberi THR.

Kalaupun ada tuan rumah yang memberi ya syukur. Namun, kalau harus menciptakan gimmick demi kepuasan orang dewasa bukan si bocil pribadi, itu namanya manipulatif. Sesuatu yang sebaiknya jangan diajarkan kepada si bocil.

Ilustrasi bagi-bagi THR ke anak-anak (credit foto: atabarlian.wordpress.com/


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...