Langsung ke konten utama

Payung dan Masker


Peribahasa “sedia payung sebelum hujan” itu sama nilai manfaatnya dengan prokes “pakai masker dan cuci tangan.”

Yang pertama iya benar di kala musim penghujan. Yang kedua iya benar di masa Covid-19 sejak tahun 2020 lalu.

Cuaca mendung, sedia payung sebelum hujan itu benar. Akan tetapi, cuaca tak menentu, masak cerah bawa payung.

Keluar rumah, pakai masker itu benar. Akan tetapi, saat ini sudah banyak orang yang tidak peduli lagi pada prokes itu.

Tadi malam, Magrib ke masjid, Pakde Setiadi bawa payung. Isya karena ia lihat cuaca cerah, payung tak ia bawa.

Pertengahan salat Isya tetiba hujan turun, deras tak terkata. Air yang dikirim dari ketinggian luber menggenangi jalan.

Siang hari, hendak Zuhur atau Asar, bila dilihatnya matahari disembunyikan awan pekat, bawa payung harus baginya.

Begitu pun Subuh. Sewaktu saya tanya kenapa harus bawa payung, jawabnya buat teman jalan kali aja ketemu anjing.

Oh, rupanya ia takut sama anjing. Dulu sering ada anjing, tetapi sudah sejak lama tak pernah lagi saya melihatnya.

Hujan semalam yang derasnya tidak terkata, semua jamaah tercegat. Tak ada yang bawa payung, termasuk Pakde.

Beruntung ibu-ibu pengajian berdatangan ke masjid. Kami senang karena mereka tawari payung untuk dipakai pulang.

Saya bawa payung mereka, mengambil payung lalu balik lagi ke masjid mengembalikan payung yang saya pakai.

Andai tidak ada kegiatan ibu-ibu mengaji bersama di masjid, tentu kami baru bisa pulang setelah hujan reda dahulu.

Di masa cuaca tak menentu, payung jadi semacam protokol yang harus ditegakkan untuk jaga diri tidak kehujanan.

Begitu juga di masa pandemi Covid-19, masker jadi protokol kesehatan utama dalam mencegah diri dari tertular virus.

Payung dan masker, padukan penerapannya, menghasilkan dwi kekebalan. Pertama, kebal terhadap dampak hujan.

Kedua, kebal serangan virus influenza penyebab sakit flu, mudah menjangkiti orang yang tidak tahan cuaca hujan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...