Langsung ke konten utama

Vaksinasi Senyap

ilustrasi vaksinasi (foto: Shutterstock)

Senin, 11/10/2021 kemarin, di tepi jalan dua jalur depan kantor kelurahan di komplek perumahan kami, ramai pria mengenakan rompi merah yang di punggungnya bertuliskan SATGAS KELURAHAN. Setiap ada kegiatan di kantor kelurahan tersebut, lebih-lebih kalau ada wali kota datang, pasti SATGAS KELURAHAN akan berjaga-jaga di luar kantor hingga ke tepi jalan dua jalur BKP.

Saya tak pernah hirau apa pun kegiatan di situ. Kalau lewat ya lewat saja dengan kecepatan sedang sambil menoleh ke arah kantor kelurahan dan pastinya memeriksa wajah siapa-siapa saja pemakai rompi merah tersebut. Mereka adalah hansip di lingkungan RT masing-masing. Tiap RT ditunjuk satu orang warga jadi hansip. Diberi seragam, sepatu, topi, rompi, dan tentunya insentif tiap bulan.

Insentif itu dari wali kota, besarannya saya tak tahu persis. Pembayarannya, sepertinya, tidak tiap bulan. Sama seperti RT, pembayaran insentifnya per tiga bulan sekali. Ada kalanya ditunda per enam bulan sekali. Mau sedih bagaimana, tidak sedih bagaimana. Hal itu tak bisa dielakkan, pencairan dana apa pun di pemda harus melalui persetujuan anggota DPRD terhormat, ketuk palu di persidangan.

Jabatan RT itu ”pengabdian” kepada warga. Namun, ada saja orang yang kepincut untuk jadi ketua RT. Ikut pemilihan, bahkan membentuk TS segala, si TS keliling mengumpulkan tandatangan dukungan warga. Akan tetapi, ada orang yang meski didukung dan didorong-dorong untuk jadi ketua RT, bergeming. Ogah, katanya. Akhirnya, yang jadi ya tetap yang lama itulah, manjaaaang.

Yang namanya ketua RT, berguna gak berguna. Ada ketua RT yang sigap dan bersedia sibuk dalam urusan warganya, apa pun. Dari yang sedih seperti musibah kematian sampai yang gembira dan joged-joged di hajat perkawinan. Mengambil PBB dan membagikannya ke warga, menyampaikan undangan, dll. Ada yang diambil doang tapi tak dibagikan, warga harus ambil ke rumahnya Pak RT.

Masalah vaksinasi masal, saya tidak banyak tahu apa peran Pak RT. Saya menunggu-nunggu kalau-kalau ada info dari Pak RT di mana dan kapan ada vaksinasi masal. Pun di RT sebelah, sama saja. Saya sejak jauh hari, sehabis lebaran Idulfitri, sudah wanti-wanti ke RT sebelah, nanti kalau ada vaksinasi untuk umum tolong kasih tahu. Oke, jawabnya. Sebatas itu, hingga hari ini tak ada kabar.

Kenapa saya wanti-wanti ke RT sebelah, yang notabene adalah saudara-jauh itu? Karena Pak RT kami wafat pertengahan Januari 2021. Sejak vaksin masuk Indonesia dan gencar diberikan kepada nakes dan lansia, warga umum harus sabar menunggu sampai waktunya akan divaksin juga. Kabar-kabari-nya sesudah puasa, vaksin untuk masyarakat umum akan mulai dilakukan berkala, bersinambungan.

Jauh sesudah Idulfitri dan Iduladha, sampai kami ke Pacitan 18—23 Juni, bahkan hingga September kemarin tak ada info tentang vaksin dari Pak RT sebelah meski saya sudah mewanti-wanti sejak jauh hari. di mana-mana memang ada vaksinasi masal. Di RSUDAM oleh Polda, di Kodim oleh TNI, di institusi dan lembaga, partai politik, namun saya kurang paham bagaimana aturan detailnya.

Tibalah suatu hari saya iseng tanya ke Pak RT sebelah tersebut –sementara di ke-RT-an kami sudah ada ketua RT terpilih– kapan ada vaksin. ”Sampeyan vaksin ke berapa,” tanyanya. Ya, vaksin pertamalah, jawab saya. ”Wah, kemarin ada, tapi tak kasihkan wargaku,” ujarnya. Mau gelo gimana, gak gelo gimana. Nanti kalau ada info, kasih tahu, ya, kataku. Oke, katanya. Waktu pun terus berlalu.

Sampai akhirnya saya dapat juga vaksin. Info dari Pak RT sebelah itu tak ada, info dari Pak RT kami sendiri pun senyap. Dan ketika lewat depan kantor kelurahan hari Senin (11/10/2021) itu ternyata ada vaksinasi. Entah berapa banyak kuotanya, dan bagaimana prosedur untuk bisa ikut divaksin, saya tak hirau. Itu pun tak jelas juga bagaimana sosialisasinya ke warga. Katakanlah vaksinasi senyap.

Alangkah enaknya di tempat lain, semisal DKI Jakarta, atau kota-kota lainnya di Pulau Jawa. Vaksinasi masal begitu gencar, dengan berbagai pola pelaksanaan. Ada yang jemput bola door to door, rumah-rumah warga di gang sempit dan kumuh sekalipun didatangi tim vaksinator dari kelurahan. Tidak heran jika capaian vaksinasinya begitu tinggi. Tanpa diskriminasi, tanpa syarat ribet tur njelimet.

Di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, warga ber-KTP luar DKI dan DIY (artinya dari mana pun) begitu mudah mendapatkan vaksin. Tak ayal DKI Jakarta capaian vaksinnya melampaui 100 persen, karena warga luar DKI pun boleh atau bisa dapat vaksin. Capaian vaksin yang tinggi tersebut menjadi faktor penentu Covid-19 cepat melandai dan terbentuknya herd immunity (kekebalan komunal).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...