Langsung ke konten utama

Medium Keterhubungan

ilustrasi foto: cover buku terbitan murai kencana (koleksi pribadi)

Sebab tautan perkawinan, orang jadi terhubung. Apakah satu suku, ras, etnis, agama atau berbeda satu dengan yang lainnya. Ada hal yang sepele namun jarang disadari. Baru ngeh setelah kedua belah pihak mempelai saling memperkenalkan anggota keluarga masing-masing lengkap dengan nama dan barangkali juga status sosial.

Apakah hal sepele tersebut? Yaitu adanya kesamaan nama. Dari pihak istri Abang saya yang menikah di Cirebon, muncul satu nama yang ternyata itu sama dengan nama Ayunda tertua kami. Ditarik ke luar, dari keluarga besar mereka yang lain, muncul pula nama yang ternyata sama dengan nama yang disematkan Ayah saya terhadap diriku.

Ya, nama Ayunda kami dan nama saya ternyata ada juga di lingkup keluarga besar istri Abang saya itu. Ternyata melalui sebuah tautan perkawinan muncul hal tak terduga yang semakin akan mengikatkan erat ”medium keterhubungan” antarkeluarga. Sekilas tentu terdengar lucu, tapi faktanya hal demikian terjadi di banyak tempat.

Bulan lalu, keponakan istri yang jadi ASN di Kemeterian Kesehatan, melahirkan buah hatinya. di postingan terdahulu, saya menuliskannya dengan judul ”Belum Ada Nama”. Seiring berjalannya hari, tentu si dedek bayi pertumbuhannya berkembang pesat. Dan akhirnya nama ”sementara” sebelum dimarhabain di acara aqiqahnya, adalah ”Hana”.

Nah, nama ini juga sama dengan nama putri keponakan saya yang bermukim di Cikarang. Putri pertamanya bernama Hana. Kesamaan nama tanpa terencana dan tak terduga, kiranya akan menjadi pemanis ”medium keterhubungan” antarkeluarga. Bagi si empunya nama, kesamaan nama bisa kian mengakrabkan, bagi orang lain mungkin akan bingung.

Kok bisa bingung? Begini, andaikan di sebuah asrama putri, ada dua penghuni mempunyai nama yang sama, misal saja Citra. Suatu malam minggu ada cowok datang dan ingin bersua, si Mbak penerima tamu bertanya, ”Citra yang mana, Mas?”. Si Mas tentu bingung kan. Daripada kecele, ia pun balik bertanya, ”Emangnya Citra ada berapa, Mbak?”.

asal muasal inisial MD di belakang nama Mahfud MD, bisa dibaca di sisi.

Zaman dahulu para orang tua membuatkan nama anak hanya dengan satu kata, misal Mahfud. Ternyata begitu masuk sekolah, rupanya ada beberapa pelajar bernama Mahfud juga. Oleh guru dikasih kode huruf sehingga nama mereka menjadi Mahfud A, B, C, dst. Alasannya agar jelas ketika dipanggil guru saat diabsensi. Tidak teriak ”hadiiir” serentak.

Tentu si pelajar harus ingat namanya jadi Mahfud apa. Mahfud A, Mahfud B, atau Mahfud C, dst. Si guru lalu berpikir, kok nggak enak ya nama diembel-embeli kode huruf. Si guru kemudian menambahkan nama orang tua masing-masing di belakang nama mereka. Maka muncullah nama Mahfud Mahmodin yang disingkat Mahfud MD.

Begitulah asal muasal inisial MD di belakang nama Pak Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Yaitu singkatan dari Mahmodin, nama orang tuanya. Dalam beberapa kesempatan, kalau ada yang bertanya apa makna MD di belakang namanya, Pak Mahfud MD akan mengulang ceritanya, dengan sukarela tanpa beban.

Nama yang hanya satu penggal itu ternyata kurang mengena. Di era digital ini paling tidak harus dua penggal. Saat seseorang akan membuat akun facebook misalnya, niscaya akan dihadapkan pada perintah ”masukkan nama”. Nanti akan ada dua kolom yang diisi, yaitu first name (nama depan) dan surename (nama belakang). Pun saat akan membuat paspor.

Di zaman sekarang para orang tua sudah lazim membuatkan nama anaknya dengan dua atau tiga penggal (suku kata). Tak jarang ada yang menamai anaknya tiga suku kata bahkan lebih. Yang lebih dari tiga suku kata nan panjang, akan merepotkan saat menuliskannya di ijazah. Lebih merepotkan lagi bila akan mengisi kolom Akte Kelahiran digital.

wkwkwk

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...