Langsung ke konten utama

Pétungan

tabel perhitungan weton (foto: Tribunpekanbaru.com dari ZonaTutorial.com)

Kemarin datang seorang gadis. Menggeser pintu pagar, mengetuk pintu dan menguluk salam. Setelah saya buka pintu, dia menyodorkan surat undangan. Dia akan menikah Rabu (25/1/2023) mendatang.

Hajatan di hari kerja sungguh tidak umum dan jarang dilakukan. Kekecualiannya, penetapan hari dan tanggal hajatan di hari kerja itu karena mengikuti hari dan tanggal baik menurut hitungan weton.

Dalam masyarakat Jawa dikenal istilah pétungan. Yaitu menghitung segala sesuatu agar menemukan keselarasan. Misal, saat akan memberi nama bayi yang baru lahir, dihitung dulu dengan rumus abjadun.

Dalam rumus abjadun, setiap huruf memiliki nilai atau angka yang berbeda-beda, misal أ (alif)=1, ب (ba’)=2, ج (jim)=3, د (dal)=4, dan seterusnya. Angka sesuai huruf dari nama yang dibuat dijumlahkan.

Nama yang baik adalah hasil penjumlahan angka hurufnya berkisar pada jumlah satu, dua atau tiga. Bila lebih dari jumlah itu dianggap tidak baik. Bahkan, dipercaya tidak akan membawa keberuntungan.

Begitupun saat akan mencari mantu biasanya akan ditentukan menggunakan alat kalibrasi berupa 3B (bibit, bebet, bobot). Sudah ketemu sesuai kriteria 3B, namanya pun akan dihitung, baik atau tidak.

Angka dari nama anak dan calon mantu akan dijumlahkan. Bila jumlah angka namanya sama dengan satu, dua atau tiga, itu pertanda baik. Berarti ada kecocokan perjodohan di antara keduanya.

Mengapa jumlahnya harus satu, dua atau tiga, tak boleh lebih? Karena dalam primbon Jawa ada lima macam nasib seseorang menurut weton. Yaitu; sri = 1, lungguh = 2, dunya = 3, lara = 4, pati = 5.

Orang yang memiliki weton jatuh pada hitungan sri, menurut pétungan primbon Jawa orang tersebut akan memiliki keberuntungan dalam hidupnya. Baik dari sisi rezeki, karier maupun aspek lainnya.

Orang yang memiliki weton jatuh pada hitungan lungguh, menurut pétungan primbon Jawa orang tersebut akan mendapatkan pangkat dan jabatan yang tinggi atau kedudukan mulia di masyarakat.

Orang yang memiliki weton jatuh pada hitungan dunya, menurut pétungan primbon Jawa orang tersebut akan dilimpahi kekayaan, baik harta benda maupun dikaruniai keturunan yang banyak.

Orang yang memiliki weton jatuh pada hitungan lara, menurut pétungan primbon Jawa orang tersebut akan bernasib tidak baik. Lara dalam bahasa Jawa artinya sakit. Bisa jadi akan sakit-sakitan.

Orang yang memiliki weton jatuh pada hitungan pati, menurut pétungan primbon Jawa akan bernasib kurang beruntung. Bahkan, mungkin akan menemui kematian. Pati dalam bahasa Jawa artinya mati.

Kekurangberuntungan yang akan dialami, mulai pekerjaan, keuangan dan kehidupan rumah tangga. Karena itu, di mana pun orang Jawa berada, pétungan masih mereka pakai sebagai pedoman.

Mempedomani pétungan dalam menentukan segala hal, tampaknya masih dipegang teguh oleh sebagian orang Jawa meski di zaman now yang kian moderen, demi menghindari kekurangberuntungan.

Kembali kepada surat undangan di atas, hajatan di hari kerja (Rabu, 25/1/2023), tentu penetapan hari dan tanggalnya berdasarkan hasil pétungan yang cermat. Istilahnya sesuai hari baik. Benarkah begitu?

Jawabannya variatif. Semua terpulang kepada perspektif masing-masing orang. Ada orang yang percaya hal-hal mistis, ada yang tidak begitu percaya. Masing-masing orang berbeda keyakinan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...