Langsung ke konten utama

Merdeka dari Penyakit


Pandemi Covid-19 lebih 1,5 tahun mendera negeri tercinta ini. Sudah jenuh rasanya. Semua aktivitas tidak bisa dilakukan secara normal, imbauan agar berdiam #dirumasaja tidak lagi dipatuhi. Orang-orang mencuri-curi waktu dan kesempatan untuk melepas kejenuhan dengan berwisata meski tempatnya tidak jauh-jauh dari tempat tinggal. Paling jauh, seperti orang Jakarta lakukan adalah ke Puncak. Pantang sekali ada waktu libur terjepit di antara sebelum atau sesudah weekend. Misalnya tanggal merah jatuh di hari Kamis atau ada hari kejepit seperti Senin (9/8) yang diapit hari Minggu dan Selasa (10/8) yang merupakan tanggal merah bertepatan dengan 1 Muharram.

Jagat Twitter ramai dengan twitan @mohmahfudmd yang typo menulis Covid-19 dengan Covid-29. Tanggapan @azumi_tsuyoshie begini, ”oh berarti covid itu banyak varian ya kakek di mulai dari covid- 19 covid- 20 covid -21 covid- 22 covid- 23 covid- 24 covid- 25 covid 26 covid- 27 covid -28 covid-29.” @Nisaruhullutpa2 menanggapi begini, ”Paaakkk...varian covid 19 aja 2th,lah klo dah 29,brpa taon????. Eh, iya juga, diringkus Covid-19 lebih 1,5 tahun ini saja rasanya sudah tidak karu-karuan, bagaimana kalau Covid-29 seperti yang dicuitkan @mohmahfudmd itu. Tentu lebih dari PPKM yang diberlakukan, —wes embuhlah...—. Tentu bawaannya bakal kemrungsung terus dong orang-orang.

Tetapi, bisa jadi lho, kalau menilik seperti yang disitat DetikHealth, Selasa (17/8/2021) 6.52 WIB, dengan judul berita, ”Menkes Isyaratkan Hidup Bersama Corona 5-10 Tahun Lagi, Masih sanggup?”. Jauh sebelumnya, suarajakarta.id pada Senin (9/8/2021) pukul 20.50 WIB, mengutip apa yang disampaikan Pak Luhut Binsar Pandjaitan, dengan judul berita, ”Luhut: Kita Mungkin Akan Hidup Bertahun-tahun ke Depan dengan Masker”. Yo, wes, monggo. Aku sih yes. Siapa coba yang nggak mau bebas dari penyakit? Sudah cukuplah 1,5 yahun dibekap pandemi Covid-19 dengan maskeran terus, sudah ngap rasanya napas. Masa iya masih harus bertahun-tahun ke depan, masih 5-10 tahun lagi.

PPKM Darurat yang dihelat pemerintah sejak 3 Juli berlanjut terus. Diperpanjang terus dan terus diperpanjang. Namanya diganti PPKM Level 4. Pakai embel-embel ”Level 4” biar terkesan terasa superpedas seperti Seblak atau Basreng. Tetapi, orang-orang yang sudah terbiasa dengan pedasnya Seblak atau Basreng meski Level 4 sekalipun, ya tetap nikmat saja menyantapnya. Begitupun dengan PPKM Level 4, sebagian orang menganggapnya biasa-biasa saja. Hanya sebagian saja yang merasa jirih. Orang-orang yang menganggap biasa-biasa saja itu, senang benar kalau ada tanggal merah atau hari libur tepat di hari kejepit, mereka akan memanfaatkannya sebagai ”bonus” tiban.

Agar hari kejepit itu tidak dimanfaatkan sebagai ”bonus” tiban, pemerintah lalu menggeser hari libur 1 Muharram dari hari Selasa ke hari Rabu. Entah mengapa hari libur nasional tanggal 17 Agustus yang juga jatuh hari Selasa kok enggak digeser ke hari Rabu ya? Barangkali takut kuwalat terhadap sang proklamator. Tanggal merah yang jatuh di di hari Kamis atau Selasa, itu menghasilkan hari kejepit (Jumat dan Senin), misalkan orang Jakarta yang liburan ke Puncak hari Kamis tentu akan sejahtera dengan menikmati dua hari kejepit tersebut. Long weekend mereka membahasakannya. Bertambahnya kasus positif Covid-19 dari long weekend itulah yang dikhawatirkan.

Kekhawatiran bertambahnya kasus positif Covid-19 dari long weekend itu yang dihindari pemerintah dengan menggeser hari libur seperti pada Selasa 1 Muharram. Peringatan HUT Kemerdekaan RI, yang dimasa sebelum ada Covid-19 selalu meriah dengan aneka lomba, pada HUT ke-75 tahun kemarin dan HUT ke-76 tahun ini, jangankan lomba sedangkan upacara mengenang detik-detik proklamasi saja hanya dilakukan di halaman Istana Negara dan halaman kantor instansi Pemerintah Daerah. Tentu dengan protokol kesehatan yang ketat dan jumlah partisipan terbatas. Di halaman sekolah-sekolah tak ada upacara. Guru dan peserta didik mengikuti secara virtual dari rumah.

Siapa sih yang tidak mau merdeka dari penyakit? Semua mau, semua ingin. Tetapi, tatkala disuruh diam di rumah saja seperti susah sungguh mematuhinya. Disuruh menegakkan protokol kesehatan ketat pun masih banyak yang abai. Ketika pemerintah menerapkan PPKM Darurat dan Level 4, masih juga mau mencuri-curi peluang menerobos penyekatan, masih mencari-cari celah lolos ke tempat wisata dan belanja. Ya sudah, mau tidak mau pemerintah bertindak tegas dengan memberlakukan prasyarat harus membawa kartu vaksin. Jangankan ke mal, ke pasar tradisional saja harus pula bawa kartu vaksin. Sementara vaksinasi masal tersendat di mana-mana. Baru berapa persen, Bos.

Lah, kalau vaksinasi masal saja belum merata, apa dalilnya membuat kebijakan harus bawa Kartu Vaksin itu? Vaksin nyatanya bukan jaminan bagi seseorang untuk bebas Covid-19. Banyak yang sudah divaksin dua kali toh nyatanya masih juga kena Covid-19. Masih harus isolasi mandiri dua pekan bahkan ada yang hampir satu bulan. Masih mengupayakan pengobatan sendiri. Masih begitu begini. Artinya, oke kita sudah 76 tahun merdeka, tetapi kemerdekaan sesungguhnya masih kena penyekatan. Masih ada PPKM yang diperpanjang terus dan terus diperpanjang. Masih ada hal-hal yang mengenai penindasan oleh penguasa dan lain-lain dipaksakan dengan cara saksama. Hahahaha...

Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, katanya. Tetapi, PPKM Level 4 berlanjut terus dan terus berlanjut. Diperpanjang terus dan terus diperpanjang. Yang terbaru, 17—23 Agustus. Baiklah, tak mengapa, Kita ibaratkan menempuh perjalanan, sejauh apa pun jarak harus kita tempuh terus untuk sampai tujuan. Kita ibaratkan malam, sepanjang-panjangnya malam niscaya akan bertemu jua dengan fajar dan sambutlah mentari yang menyingsing di ufuk timur. Kita ibaratkan mendaki gunung, dakilah terus, Bray! Meski berjumpa post-post peristirahatan, janganlah berhenti hingga sampai puncak kelelahan. Kita ibaratakan berjuang, belum seberapa berat perjuangan leluhur kita meraih kemerdekaan.

  

#DirgahayuIndonesia #76TahunIndonesiaMerdeka #HUTke76RI


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...