Langsung ke konten utama

Lagi Hoki


Lagi hoki rupa ni Abang tahun inji sampai mangsa ruwa hadiah,” ani Udo Z Karzi via wasap.

Reno rupani ya. Payu, kekalau nambah energi nguatko ati aga ngebukuko puisi bhs lpg. tumbai sa msh tangéh kidang kekalau,” balosku.

Seberapa urgen melestarikan bahasa ibu dan menyelamatkannya dari kepunahan? Menjawab pertanyaan ini susah-susah gampang, gampang-gampang susah. Keberadaan bahasa ibu, apa pun, di nusantara ini kian terdesak karena penduduk setempat ’tersedak’ bahasa pasaran. Sejak Soempah Pemoeda diikrarkan, bahasa Indonesia dijunjung tinggi-tinggi, diperlakukan sebagai bahasa persatuan. Dipergunakan sebagai alat komunikasi yang luas. Sejak itu bahasa ibu perlahan tersisih. 

Dalam esai berjudul ”Merindu Negeri Ujung Pulau, Negeri Para Penyair”, saya menulis, ”Sebagai Bahasa Ibu yang penuturnya kian susut, dibutuhkan terobosan untuk membuat bahasa Lampung kian membumi di rumah sendiri.” Beruntungnya, person-person yang berkecimpung di Dewan Kesenian Lampung, khusunya Komite Sastra, ada di antaranya yang beretnis Lampung. Atau –yang lainnya– merasa sebagai ulun Lampung walaupun bukan beretnis Lampung.

Rasa ke-lampung-an yang bersemayam di relung dada mereka, itu yang dibutuhkan untuk membumikan bahasa Lampung di rumahnya sendiri. Kalaupun sulit membudayakannya menjadi bahasa percakapan secara luas di tempat umum, jangan pula merasa malu mempergunaknnya secara sempit di tempat terbatas. Kalau di rumah sendiri, sesama Lampung saja enggan berbahasa Lampung, jangan harap di pasar yang becek dan amis akan terdengar orang berbahasa Lampung.

Saya merasa ekstase manakala mendapati kabar Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung menggelar Sayembara Menulis Puisi Berbahasa Lampung dan esai sastra ”Budaya Lampung dalam Keanekaragaman Indonesia” (status facebook Udo Z Karzi, 6 Juni 2021). Saya pun seperti dibangunkan dari tidur dan disuruh membuka bagasi ingatan akan puisi berbahasa Lampung yang sudah saya tulis dan hendak dibukukan (niatnya). Tapi, ternyata tak kunjung terwujud.

Saya sortir, membaca ulang judul demi judul, isinya apa. Menimbang-timbang yang mana di antaranya, yang paling kuat daya pikatnya. Bukan untuk meraih kemenangan. Sama sekali tidak ada ekspektasi untuk itu. Kuat daya pikat di sini maksudnya adalah bagaimana puisi saya bila ikut dibukukan bersama peserta lainnya, akan memantik keinginan sesiapa –yang mendekap buku bersama– itu untuk membacanya, menelaah, dan bila perlu mengkritik setelanjang-telanjangnya.

Menulis atau mengkreasi puisi berbahasa Lampung, seperti yang saya tulis di esai di atas, dibutuhkan bukan sekadar kehaga, melainkan harus bermodal pengetahuan yang luas, meliputi pemahaman terhadap teks dan konteks. Karena bahasa Lampung itu, kata-katanya mengandung luapan rasa dan kejutan-kejutan makna tak terduga. Puisi berbahasa Lampung orisinil (oleh orang beretnis Lampung asli) tentu beda dengan puisi hasil transliterasi atau transkripsi dari bahasa Indonesia.

Ada beberapa judul puisi yang bagus (setidaknya menurut saya) yang membuat saya berhari-hari menyortir ulang, mempertimbangkan ulang, sebelum akhirnya memilih puisi berjudul ”Sampian” yang kemudian saya kirim ke panitia pelaksana sayembara. Lolos seleksi (dalam pikiran sendiri) sebelum akhirnya lolos menjadi pemenang pertama, tentulah bukan sesuatu yang mudah. Berhari-hari saya baca ulang beberapa puisi yang baik teks maupun konteksnya membetot imajinasi.

Imajinasi tentang kehidupan di masa kecil, kenangan dan pengalaman yang membuat kangen bergetar, sangat kuat pengaruhnya dalam melahirkan puisi yang bagus. Banyak hal-hal kecil yang tak asing dalam kehidupan masyarakat Lampung bisa digali menjadi tema, membuat metafora, yang bunyi teksnya memunculkan rima sehingga keindahan bahasa terdengar tak terduga. Selalu ada kejutan-kejutan dalam sastra tulis dan lisan yang tumbuh dalam budaya Lampung.

Hal-hal kecil yang membudaya dan akrab membersamai sejak lahir, tumbuh besar di lamban hingga bulambanan, selalu menarik untuk mengolahnya menjadi puisi atau cerita pendek. Keanekaragaman hayati, flora dan fauna, destinasi wisata, komoditas, dan apa pun yang ada di negeri ujung pulau, negeri para penyair, ini sangat-sangat potensial melahirkan karya sastra yang bernas. Tapi, lagi-lagi dibutuhkan bukan sekadar kehaga, melainkan harus punya pengetahuan yang luas mengenai teks dan konteks.

Kalau Udo Z Karzi menganggap saya lagi hoki, barangkali benar dan barangkali kebetulan belaka. Ini rezeki yang tak disangka-sangka. Sebelum kelak buku ”Sangrumpun Puisi Bahasa Lampung” saya benar terwujud, semamenani puisi bahasa Lampung saya ikut dulu dalam buku antologi sayembara ini. Anggap saja sebagai pemanasan, biar upaya membukukan puisi Bahasa Lampung bertambah bertenaga. Sekaligus dua kategori kemenangan (puisi dan esai) di sayembara ini menjadi semacam doping.

BKP, Jumat, 27 Agustus 2021          


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...