Langsung ke konten utama

In Memoriam Pendiri Kompas


Baru saja Kompas merayakan peringatan 100 tahun PK Ojong pada 27 Juli 2020, eh... 9 September 2020 koran besar itu kehilangan lagi salah seorang pendirinya, Jakobus Oetama. Petrus Kanisius Ojong (terlahir dengan nama Auwjong Peng Koen) dan Jakobus Oetama adalah pendiri koran Kompas yang terbit perdana pada 28 Juni 1965.

PK Ojong lahir di Sumatra Barat, 27 Juli 1920 dan wafat di Jakarta 31 Mei 1980. Dalam sikap dan tindakan, Ojong menolak segala hal yang punya bau feodalisme. Baginya, itu adalah sikap tak adil dan menghambat kemajuan. Ojong ingin perusahaan yang ia rintis, dirikan, dan pimpin bersama Jakob Oetama tidak bersifat onmisbaar.

Perusahaan yang baik yang dapat menjamin kesejahteraan pegawainya, kata dia, adalah yang tidak onmisbaar. Artinya, ketika pemimpin pendahulu tak ada lagi, perusahaan tetap harus bisa berjalan. Jadi, lanjut Ojong, perlu disusun sistem yang memungkinkan untuk itu. Harus ada pula kader-kader untuk menggantikan pemimpin lama.

”Saya yakin Tuhan tidak menghendaki onmisbaarheid. Kalau Dia menginginkannya, umur manusia tidak akan dibatasi,” tegas Ojong, seperti dikutip Helen Ishwara dalam buku Hidup Sederhana, Berpikir Mulia. Saking sederhananya Ojong, saat ia jadi pimred Star Weekly, ia tak juga mengganti mesin ketik lamanya sementara anggota redaksi lain sudah pada ganti.

Goenawan Mohamad berpendapat bahwa, ”Bahkan ketika orang bisa memuji Ojong setinggi langit karena jabatannya, Ojong tetap adalah orang yang keras untuk tidak mengistimewakan diri.” Justru ia lebih mengistimewakan apa yang ada di luar dirinya. Tidak hanya Kompas dan Intisari yang dibesarkannya, ia pun peduli pada Horison.

Ketika Kompas sudah menjual 300.000 eksemplar koran setiap hari dan Intisari di atas 100.000 per bulan, Ojong masih bersemangat mengurusi langsung keuangan majalah Horison yang per bulan hanya beroplah 6.000. Artinya, kalau bisa sama-sama maju mengapa ia hanya fokus pada korannya sendiri dan tak peduli pada yang lainnya.

Cerita paling seru barangkali adalah fakta bahwa sopir Ojong lebih dulu punya rumah daripada ia sendiri. ”Pak Ojong nunggu sopir-sopir punya rumah dulu, baru ia bangun rumah sendiri.” Ini adalah kisah Kusnadi, sopir yang bersama Ojong tercebur ke jurang sedalam 12 meter pada 1977. Kepergian Ojong meninggalkan banyak cerita dari kawan-kawannya.

Maka, tak mengherankan bila dengan semua cerita ini, pemakaman Ojong diantar ribuan orang. Memang begitulah, kepergian orang baik akan diiringi urai air mata dari merteka yang mencintainya. Demikian juga halnya dengan Jakob oetama, ucapan dukacita mengalir dari orang-orang yang pernah bersinggungan secara dekat di masa hidupnya.

***

Benar saja, sepeninggal Ojong, Jakob Oetama terus berkhidmat membesarkan Kompas hingga rentang waktu 40 tahun kemudian sesudah Ojong tiada, perusahaan tetap harus bisa berjalan. Buktinya, di bawah komando Jakob Oetama, tidak hanya perusahaan korannya yang besar tapi berkembang menjadi group yang membawahi berbagai lini usaha.

Belakangan, menyandang nama Kelompok Kompas Gramedia (KKG) karena tidak hanya percetakan dan penerbitan koran tapi juga toko buku Gramedia. Untuk media, KKG membawahi Majalah Intisari, Tabloid Kontan, dan koran Tribun. Lalu Kompas TV, Radio SmartFM, SonoraFM, dan Motion Radio. Media digital Kompas.com dan Tribunnews.com.

Selain itu, bergerak juga di bidang retail & publishing, rumah sakit, manufaktur, pendidikan (Universitas Multimedia Nusantara, UMN) dan lembaga bahasa Inggris elti. Bergerak juga di bidang properti, digital, perhotelan (Santika Indonesia), event & venue, printing group, KGEpress, GRID Network, ETAFORM, dan medialand.

KKG bisa besar di tangan Jakob Oetama yang memegang teguh falsafah hidup; sederhana, jujur, dan pembela orang kecil. Setiap ada penerimaan karyawan, warga sekitar Palmerah Selatan, tempat Kompas bermarkas selalu diberi kuota meski hasil tes kurang memenuhi syarat. Tetapi, setidaknya telah menunjukkan komitmen peduli kepada masyarakat sekitar Palmerah.

Ada slogan yang diangkatnya dari ujaran humoris dan penulis Amerika, Finley Peter Dunne, ”Comfort the afflicted, afflic the comfortable” (menghibur yang papa dan mengingatkan yang mapan). Menghargai eksistensi manusia (ngewongke) itu yang menjadi dasar selalu ada peluang bagi warga Palmerah untuk berkiprah di Kompas.

Berkat kesederhanaannya itu, meski KKG memiliki 22.000 karyawan tapi tak pernah diakuinya besar, melainkan lumayan. Betapa rendah hatinya Jakob Oetama, tidak jumawa meski KKG menjadi media yang maju dan besar. Justru itu menjadi modal baginya untuk ikut mencerdaskan anak bangsa dengan memberi beasiswa terutama kepada anak-anak karyawan/wartawan dan masyarakat umum.

Melepas kepergian Jakob Oetama, Kompas memasang potret dirinya di halaman depan dengan judul Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Ia wafat di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Rabu (9/9/2020) pukul 13.05 WIB. Dimakamkan di TMP Kalibata, karena pernah menerima anugerah Bintang Mahaputra Kelas III dari Pemerintah RI, 21 Mei 1973.

Legacy yang ditinggalkan Jakob Oetama (lahir 27 September 1931) adalah komitmen menautkan orang (karyawan/wartawan) dan lembaga (KKG) dalam sebuah tujuan dan misi suci: ”Amanat Hati Nurani Rakyat”. Sebuah misi suci yang tidak sekadar diusung dan dijajakannya, tetapi juga diyakini dalam jiwa dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari hingga akhir hayatnya.

(ZY)

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...