Langsung ke konten utama

Terus, Bos... Terus...


Gak
terasa PPKM Level 4 yang diturunkan ke level 3, 2, 1 (713 September) selesai, tapi bukan selesai dalam arti berhenti di periode itu. Masih terus, Bos. Malam ini (13 September) diumumkan lagi lanjutan perpanjangan PPKM Level 4 yang wilayah aglomerasinya semakin berkurang. Artinya, wilayah aglomerasi level 4 jadi berkurang karena ada yang turun ke level 3. Wilayah aglomerasi level 3 jadi berkurang karena ada yang diturunkan ke level 2. Begitu juga yang level 2 diturunkan ke level 1.

Dengan semakin berkurangnya wilayah aglomerasi level 4, 3, 2 tersebut, maka semakin berkuranglah kekhawatiran kita untuk masuk ke wilayah aglomerasi dimaksud. Tunggu dulu, akan tetapi untuk benar-benar merasa aman dan nyaman masuk ke suatu wilayah aglomerasi yang levelnya sudah diturunkan menjadi kian kecil, tentunya kita harus benar-benar memenuhi syarat yang ditetapkan, yaitu memiliki standar keamanan untuk bebas dari terinfeksi virus corona baik yang varian lama maupun varian baru.

Standar keamanan yang disyaratkan meliputi; Pertama, sudah disuntik vaksin dua dosis. Kedua, saat masuk suatu wilayah aglomerasi harus dalam keadaan negatif Covid-19 yang ditunjukkan dengan hasil tes antigen (1x24 jam) atau tes usap (2x24 jam). Ketiga, tetap mematuhi protokol kesehatan 5-M (Memakai masker, Mencuci tangan disertai sabun di air yang mengalir atau menggunakan hand sanitizer, Menjaga jarak kurang lebih 1 meter, Menghindari kerumunan, Membatasi mobilitas).

Kalau minggu lalu yang menyampaikan pengumum tentang perpanjangan PPKM Level 4 adalah Bapak Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, maka malam ini (tadi) yang mengumumkannya adalah Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Sah perpanjangan PPKM Level 4 (sebagian wilayah aglomerasi diturunkan levelnya) masih berlanjut untuk satu pekan ke depan (1420 September). Jangan senang dulu, Bos. Tunggu Covid-19 betul-betul reda.

Semakin levelnya turun dan semakin berkurangnya wilayah aglomerasi kategori zona merah, maka semakin nyata Covid-19 semakin mereda di wilayah aglomerasi yang tadinya berbahaya untuk dimasuki. Semakin tinggi persentase penduduk yang divaksin, maka semakin dekat herd immunity terwujud. Bila herd immunity terwujud, maka tidak perlu khawatiran untuk kembali beraktivitas seperti semula sebelum ada pandemi. Bekerja kembali di kantor, belajar kembali di sekolah dan kampus.

Yang hobi vakansi ke destinasi wisata, sebentar lagi boleh memuaskan dahaganya yang hampir dua tahun ini dibekap pandemi. Hanya dengan menunjukkan Kartu Vaksin, hasil tes antigen atau tes usap, siapa pun bisa ke mana pun. Tinggal pilih mau pakai moda transportasi udara, darat, dan laut. Sebentar lagi jalanan di kota-kota besar akan kembali macet, gas buang kendara kembali mencemari udara. Udara yang selama ini begitu segar menyehatkan tak lama lagi akan kembali dikotori polutan.

Vaksinasi Masal(ah)

Woi, Bos... bigimane ceritenye ini. Di tempat lain ada hiruk pikuk vaksin jemput bola, kok di sini tidak ada a la-a la begitu ya. Katanya vaksinasi masal, eh kok yang terjadi vaksinasi masal(ah). Orang dioprak-oprak untuk vaksin, begitu berduyun-duyun ke tempat vaksin eh.. eh.. eh.. dibubarin dengan alasan mencipta kerumunan. Katanya dimudahkan eh.. eh.. eh.. kok susahnya nauzubillah. Jelas saja kalau begitu, di kota lain vaksinasi merata sehingga cepat memenuhi target sementara di sini, embuh.

DKI Jakarta vaksinasinya melampaui 100% bahkan hampir 120% karena begitu mudahnya vaksin di sana. Ada program jemput bola ke Kelurahan, RW, RT, bahkan gang-gang permukiman yang sempit. Warga dari luar DKI pun bisa dan boleh vaksin. Di DIY pun ada sentra vaksin yang warga ber-KTP luar DIY pun bisa dilayani dengan mudah tanpa prosedur berbelit, ora neko-neko. Hasilnya? Herd immunity akan segera tercapai di DKI. Capaian persentase vaksinasi yang tinggi memenuhi kategori itu.

Yo weslah tak tunggu wae, engko rak ketemu dalane, oleh vaksin nek wes wayahe oleh.” Ha.. ha.. haaa.. ngakak saya mendengar gerundelan teman yang sejak bulan lalu sibuk mencari info di mana tempat vaksin yang mudah dan lancar. Ocehannya memperbandingkan antara tempat lain dengan tempatnya bermukim tentang vaksinasi masal yang dipelesetkannya menjadi vaksinasi masal(ah), mengundang rasa haru mendalam di batinku. ”Kita sama, saya juga hanya bisa menunggu,” kataku.

Masygul juga sih sebenarnya. Ketika saya googling, ternyata sejak bulan Juni sudah ada vaksinasi oleh beberapa intitusi pemerintah bekerjasama dengan lembaga penggerak. Nah, kira-kira salahnya di mana. Waktu itu, saat ada vaksinasi, si teman ini ke mana aje, atau memang minim sosialisasi sehingga gaungnya tidak terdengar olehnya. ”Pikirkan, kalau tiba-tiba ada vaksinasi di suatu tempat tanpa sosialisasi secara luas, tahu-tahu ada yang datang ke tempat itu, kan dicurigai itu sengaja,” kilahnya.

Pagi hari tadi di beberapa kabupaten/kota telah dimulai pembelajaran tatap muka (PTM) dengan jumlah peserta didik terbatas (50% dalam setiap ruang kelas) dan menerapkan protokol kesehatan (prokes) yang ketat. Dengan sendirinya jalan-jalan mulai padat, di beberapa lokasi arus lalu lintas tersendat bahkan macet. Euforia siswa menyambut PTM, bagi yang lama terbelenggu sekolah daring tentu senang bisa kembali bertemu kawan-kawan. Namun, ada yang malas-malasan karena biasa santai.

Lebih terlihat senangnya adalah masyarakat yang lama mendambakan bisa piknik, jalan ke mal, kumpul-kumpul atau nongki. Di beberapa destinasi wisata seperti pantai Pangandaran ramai pengunjung. Sayangnya, ada saja yang abai prokes sehingga Satgas Covid-19 bekerja ekstra untuk mengingatkan dan menertibkan masyarakat untuk tetap memakai masker dan jangan berkerumun. Ya, namanya mereka rindu laut, Bos. Laut atau sea itu kan perlu juga seperti halnya vitamin C, gitu lho.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...