Langsung ke konten utama

Sajak-Sajak 1985

Saksikanlah

saksikanlah hai kalian yang tak buta
sepagi ini cemeti ibu tiriku
telah menggeletar di tubuhku
bagai biola digesek, tangisku pun menggema
menyambut mentari jelmakan sinarnya

saksikanlah hai kalian yang dapat membuka mata
sepertinya ia ingin menghapal lagu kesayangannya
dengan senantiasa memutar kasetnya
demikianlah aku doperlakukan bagai tape-recorder
pagi hari telah disetel dengan menjewer telingaku
agar menyanyikan tangis yang syahdu lagi pilu

bagi orang yang berjalan malam
akan bersuka cita bila pagi tiba
tidak demikian halnya bagiku
berakhirnya malam berarti datangnya sengsara
belum lagi kering air mata tangisku semalam
pagi ini sudah memancar lagi

*) tentang perlakuan kejam seorang ibu pada anak tirinya.

Yogyakarta, 25 Januari 1985

Prasangka
                                                : Eny M. Jalan Wahid Hasyim

rinai hujan berkepanjangan
malam pekat, angin berhembus tipis
telah mencuri kebahagiaanku semalam
yang hilang ditelan kesendirian

ada sebuah ketakutan mengancam
membuat resahku menyayat hati
mulai menjauhikukah dia
itu tanya menuding begitu menikam

hujan berkepanjangan tadi malam
membantunya merumuskan sebuah alasan
tentu saja aku akan sia-sia belaka
bila masih mempertanyakan
mengapa dia tak datang apel padaku
karena hujan, tentu itu alasan tepat baginya
bila kudebat pasti akan timbul pertengkaran
yang ujungnya memudahkannya menegaskan
untuk benar-benar menjauhiku

tapi ada sebuah obat mujarab
penaka rasa takut yang menjelma hantu di kalbu
      ”jangan tanya apakah dia mencintaimu,
      tapi tanyalah hatimu apakah benar-benar mencintainya.
      sebab, itulah jalan menuju cinta yang sebenarnya”
demikianlah bisik itu mengiang
entah dari mana arah datangnya
mungkin ia sugesti sang batin
mencoba keluar jadi sosok pahlawan
menenteramkan hati dari rasa takut mencekam

ya… benarkah aku mencintainya, dengan sepenuh hati
kalau benar sudah seperti itu yang kurasa
mengapa masih ada rasa takut melingkupi kalbu
betapa lemah jalan nalar, selalu dihantui rasa takut
kadang pikiran yang hanya jalan sejengkal
jarak sependek itu, memang tak akan pernah mampu
menemukan hal-hal yang nyata atau sekedar menipu
tirani ego yang ingin selalu menang, selalu bahagia
membuatku sulit menerima, sulit memaklumi
alasan yang disodorkannya, setiap kali waktu alpa

kadang terbersit juga jauh dari alam bawah sadar
betapa aku menuntut terlalu banyak padanya
tapi dasar hati yang egois, setiap kali dongkol timbul
tak bisa berpikir tenang, tak mampu berbuat banyak
hanya terbawa emosi, dan mau dituruti perasaan
pengertian yang mestinya tajam, seketika tumpul
maaf kasih, aku berprasangka yang bukan-bukan padamu

Yogyakarta, hujan malam Minggu, akhir Juli 1985

Nyanyian Kelana

semerbak cempaka sepanjang dusun
memupuk sebutir cinta buat perawan desa
meski sampai di mana kan kujelajah jua
sampai kutemukan kekasih cendera mata

pucuk bidara menari ceria
menyambut gadis buka jendela
dan aku bernyanyi menanti tatapannya
aku kan senyum agar dia terpana

dari setiap pekarangan rumah desa
kunikmati paras jelita penuh pesona
kutebar jaring-jaring harapan
agar cintaku tertabur di ladang hatinya
tapi hasratku bertemu gadis berambut panjang

agaknya mulai sulit menemukannya
gadis jelita, berambut panjang, ceria dan manja
paras ketemu, tapi rambutnya hanya sebahu
mereka sudah kenal gaya rambut kota rupanya

aku akan terus menjelajah desa sampai mana juga
sampai kutemukan bakal kekasih cendera mata
gadis jelita punya rasa manja, tapi bisa dewasa
gadis semampai, rambut tergerai, indah di mata

gaya rambut kota telah merambah ke pelosok desa
gadis-gadis tak lagi berbusana kain dan kebaya
telah banyak gaya busana mereka pakai
rambut juga tak ada lagi macam mayang mengurai

duhai wajah desa, kenapa kau tetap masih lugu
tidakkah kau hendak tambah cantik pula
serupa gadis-gadismu yang kini selangkah lebih maju
mereka telah tampil bagai kebanyakan gadis di kota

duhai gadis desa, mengapa kalian biarkan dia
desamu pun ingin tampak cantik sepertimu
cobalah dihias agar tampak cantik pula
poleskan warna indah di bingkai jendela
seperti kau poles gincu agar merah bibirmu
semerbakkan wangi bunga, tanam di pekarangan
seperti kau semprotkan deodorant di ketiakmu
agar kau dan desamu sama-sama cantik dan harum

Pantai Karang Bolong, Gombong, Agustus 1985

Arti Hidup Ini Hari Terlukis Dalam Mimpi

meski panas begini hari
pintu tertutup rapat dan terkunci mati
ada ketukan yang diulang-ulang dengan rapi
adalah ketukan mentari yang menggeletarkan cemeti
menanti pintu dibuka dan menerawang ruang
menggerahkan kalbu yang mengukir hari ini
sayang hati telah paham segala arti
dan naluri telah biasa atas segala rasa

meski panas begini hari
mimpi tetap datang mengukir hati yang lelap
menanti mentari kesal mengetuk
lalu pergi membawa kejengkelan yang menggumpal
setelah senja menggamit tangannya menuju janji mereka
menuruni tebing dan melangkah ke jurang malam
kemudian mendaki bukit untuk mengintai
pintu mana pagi esok yang menganga menyapanya

”sialan, kalau pagi begini pintu pada menganga ramah
tak satupun yang bisu, semua menggiurkan,” gumamnya
tapi bila siang tiba, semua terkatup bisu
semua memandang curiga kedatangan mentari
memang, dalam siang panas begini
kalau pintu tak terkatup dan dikunci mati
gerah sinar matahari yang menerjang ruang
takkan dapat bebaskan semua mimpi dapat leluasa
mengukir arti kehidupan ini hari

Gombong, Oktober 1985
 
Taubat

semakin jauh kumenekur langkah
dan pikiran makin kukuatkan
tiada kehidupan sesempurna ini
melainkan berkat Keagungan-Mu
yang mencipta segala jadi ada

makin kumerasuk dalam kepastian
makin terang mata memandang
alam semesta pun beri jawaban
hilang keraguan, timbul keyakinan
bahwa Engkaulah yang akhirnya kujumpa

terbukti dari tiap tetes doa
muai mendaki panjatan menuju-Mu
dan Kau pancarkan jawaban
mengalir lewat nadi; kehidupan
tuntun setiap gerak pandang dan langkah
agar tak gelap mata dalam membedakan
antara merah dan putih yang kusaksikan
agar tak salah langkah menyusuri
hitam dan putih lembah kehidupan

berulang-ulang doa menetes dan mendaki
Kau senantiasa limpahkan Karunia
sebagaimana telah Engkau janjikan:
”barang siapa meminta, akan Kau kabulkan”

dan taubat kucapai
setelah bangkitnya kesadaran
bahwa tiada yang patut disembah
selain Engkau Yang Maha Membangkitkan
dengan sepenuh keyakinan aku bertakwa
tiada pegangan yang kokoh dan abadi
selain bait-bait Kalam-Mu

Yogyakarta, 6 November 1985

Antara Data dan Tanda

sebenarnya tak perlu
kita berpanjang-panjang waktu merenung
sebab semua yang kita beri tanda tanya
telah ada dalam Data
yang terstruktur rapi dan saling berkait
dari tiap Dia berujar: Kun Fayakun
dan yang tak ada dalam Data
merupakan Tanda bahwa Dia Maha Bisa
atas tiap sesuatu

Data mengajari kita membaca Tanda
Data mengajari kita menyingkap rahasia
tapi acapkali kita enggan mengenal Dia
bahkan banyak di antara kita
tak percaya karena Dia kasat mata

Dialah Udara yang mengalir lewat angin
tak pernah tertangkap mata kita
tapi Dia masuk dan keluar lubang hidung kita
menyiram sukma untuk Tanda kita ini hidup

hal ihwal yang melingkup hidup
merupakan Sunnatullah
senantiasa terjadi berulang berkali-kali
kita anggap sebagai kebutuhan
yang sulit untuk menghapusnya
dari jadwal harian dalam agenda
yaitu tidur dan bangun kembali
adalah persinggahan dalam siklus waktu
sebenarnya, wujud Kasih Sayang-Nya
pada kita yang lelah mengais rezeki
yang bergelimang dilimpahkan-Nya
Peanguasa Yang Adil Membagi
dan yang letih mengeja doa
dalam khusuk tafakkur
panjatkan sembah bakti, haturkan syukur
maka diciptakan-Nya kantuk
dan nyenyak tidur untuk beberapa waktu
bahkan dihiaskan-Nya mimpi
adalah kesempatan bagi kita untuk mengerti
rasa suka cita atau duka lara
yang tersembunyi dalam komedi atau tragedi

ada yang tak terulang memang
terjadi sekali atas takdir-Nya
adalah lahir, adalah mati
dan kita tak akan pernah bisa lari
menghindar dan sembunyi dari maut
sebab kita tak bisa tahu pasti
kapan ia kita alami

Yogyakarta, 6 Desember 1985

Tugas Berat Telah Selesai

dia kini lepaskan napas lega
senyumnya merekah indah
ada tugas berat terselesaikan
mempersatukan dua bersaudara
yang lama dikurung perselisihan
pelihara dendam paling kesumat
terpisah jurang yang dalam

adalah tugas suci yang wajib diemban
oleh siapapun yang merasa terpanggil
untuk menyelesaikannya
meski berat dan banyak rintangan
akan selesai dengan sedikit kesabaran
dan kekokohan pribadi yang tajam
mampu robohkan tantangan

tiada yang lebih berharga
daripada persaudaraan yang erat
dan bila kita senantiasa ingat
apa yang sudah tersurat dalam dua kitab
yang bila kita berpegang teguh pada keduanya
kita tidak akan sesat selamanya
kita pelajari dan amalkan sepenuh hati
karena panggilan-Nya yang suci
agar terhindar dari fitnah yang keji
timbul rasa benci, iri dan dengki, lalu sakit hati
bakar dendam di hati, biang selisih di muka bumi

dia yang begitu sangat bersahaja
berjiwa besar dan bijaksana
nampaknya memegang teguh wasiat nabi
Kitabullah dan Sunnah Rasul
kedua hal itu telah memperkasakan jiwanya
dengan nasihat yang digalinya dari Kitab
dengan perumpamaan-perumpamaan berkhasiat
dia berhasil mendamaikan dua bersaudara  
hapuskan dendam kesumat di hati
tumbuhkan rasa kasih yang hakiki

bukan sebilah pedang senjatanya
dalam mendekatkan jarak yang memisahkan
hanya keteguhan hatinya untuk berbuat
dan perintah Tuhannya dalam Al-Kitab:
      ”sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara,
      maka itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan
      bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” *)

Yogyakarta, 14 Desember 1985

*) Q.S. Al-Hujurat [49] : 10



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...