Langsung ke konten utama

Sajak-Sajak 1980-1981

Bulan-bulan Itu

bulan-bulan itu
dicambuk terik kemarau
suaranya pun begitu parau
terlalu seringnya berteriak
kini pekiknya nyaris tak terdengar
tapi masih sempat mereka bergumam:
‘kapan hujan tiba?’

bulan-bulan itu resah gelisah
ratapannya pahit untuk dikenang
harapan nyaris putus tanpa tumbang
kala tiada kunjung menjelma isyarat
kepastian antara datang dan tiada
curah hujan gantikan kemarau panjang

bulan-bulan itu khidmat terpaku
membaca setiap gelombang angin
kalau ada terselip berita cuaca
tentang hujan yang mereka nanti

bulan-bulan itu tegak berdiri
dari April hingga Oktober berjajar
menyambut sesuatu yang mereka jemput
adalah tibanya hujan di tengah lapang

bulan-bulan yang berjajar di situ
segera bertautan tangan, lalu berdansa riang
tatkala hujan menjelang dengan ucapan salam

mereka tenggelam dalam suasana ribang
hingga mereka lengah pada salam hujan
di awal perjumpaan mereka
dan mereka lupa sambut jabat tangan hujan pertama
mereka lupakan cambuk kemarau dulu

Yogyakarta, November 1980

*) kemarau 7 bulan.

Elegi Berakhirnya Cinta di Musim Panas

dulu di jembatan bambu tua
dan di atas aliran sungai ini   
kunyatakan bahwa cintamu padaku
belum tentu terbalaskan
tapi kulihat kau hanya tersenyum
dan menganggapku bersandiwara

sekian lama telah kutinggalkan
ternyata kau bertahan
tetap sendiri saja
hanya menungguku kembali
dan mengharap kubalas cintamu

kini memang aku kembali
dan kini kutegaskan lagi
bahwa aku memang menyayangimu
tapi tidak mesti mencintai
ternyata kau palingkan muka
dan tak menerima pernyataanku
kau ingin selalu di sampingku
tapi aku harus pergi lagi

dalam perjalananku yang lalu
banyak sungai yang mestinya kulalui
tapi tak kutemukan jalannya
tersesat dalam pengembaraan
hanyut dalam kemauanku yang deras
justru membuatku tetap hidup

tiap malam yang kualami bersamamu
sungguh-sungguh kunikmati
karena saat-saat bersamamu di sini
kan tetap kuingat di musim hujan kelak
cintamu di musim panas ini
amat menggetarkan kalbuku
mestinya aku pun mencintaimu
tapi perpisahan kita mesti terjadi
semoga kau memaafkan aku

Yogyakarta, Oktober 1980

In Memoriam

di bawah pusara ini
disemayamkan jasad kakandaku
terbaring lelap dalam mimpi
mata terpejam, mulut bungkam
namun di bibirnya terkulum senyum
dia terkubur di sini tanpa sengaja
bukan kehendaknya, bukan permintaan kami
dia jadi korban peristiwa kecelakaan
yang tak akan terduga dari semula
tak juga dirancang atau direncana
bahkan sekali-kali tak ada yang meminta
namun Takdir dan Kehendak Yang Kuasa
telah menentukan kakanda gugur
mengorbankan diri untuk yang dicintai
mengorbankan diri untuk tujuan mulia

selamat jalan kakanda
sampai jumpa di dalam surga

Yogyakarta, Januari 1981

In Memoriam II

tak sekalimat wasiat
bagi ayah, saudara dan kerabat
kau serah-terimakan pada kami
tapi memang saat kepergianmu dulu
tak seorang di antara kami di sisimu
tak sepasang mata kami menyaksikan
kau tanggalkan napas di bangsal putih
hanya suster Rumah Sakit Gunungjati Cirebon
yang mendengarkan semua igauanmu di saat kritis
hanya suster itu pula yang menyimak pertanyaanmu
kau tanya: di mana ayah
mengapa tidak tanyakan kami saudaramu?
sayang suster itu tak bisa memberi jawaban
sebab dia tak tahu siapa dan di mana ayahmu
dia juga tak jelas siapa kamu sebenarnya
karena identitas diri di dompet yang kau kantongi
hilang lenyap dicuri orang saat evakuasi

jangankan upacara tabur bunga
sedang upacara pemakaman pun sederhana
itu pun baru dilakukan setelah ditunda dua hari
diselesaikan oleh pihak rumah sakit
kami hanya panjatkan doa di pusaramu esok harinya
doa kami senja itu diiring gerimis dan air mata

Yogyakarta, Januari 1981

In Memoriam III

bukan cuma mereka yang pernah berperang
yang patut dijuluki gelar pahlawan
engkau yang gugur di jalan suci
termasuk juga kelompok pahlawan
meski tanpa penghargaan dan tanda jasa

tugas suci yang kau emban
dalam penuhi amal bakti
meski bukan di medan perang
meski bukan di medan perjuangan
telah menghantar kau jadi pahlawan
telah menghantar kau ke pintu surga

surga bukan cuma buat yang sahid berperang
kau yang sahid dalam perjalanan suci
tersedia juga surga sebagai balasan

Yogyakarta, Januari 1981

*) mengenang almarhum kakak yang wafat akibat insiden tabrakan bus di jalan raya Losari Cirebon.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...