Langsung ke konten utama

Sajak-sajak 1978-1979

Mimpi Yang Kandas

sepi lorong kota
dipecah riuh anak-anak berangkat sekolah
pagi tertawa menyapa penarik becak
yang mimpinya kandas tak sampai batas
pecah oleh kerasnya tantangan
kaki lima yang segera jadi medan laga
pejalan kaki, pencopet, dan peminta-minta
toko-toko segera buka pintunya
jadi ajang tawar menawar harga
mereka para penarik becak
segera berangkat mengayuh harapan
hanyut dari seberang ulu ke seberang ilir
cari penumpang sampai letih terasa
pergi istirahat ke lorong biasa
rajut lagi mimpi yang tak bakal tuntas

sepi lorong kota, bermakna bagi mereka
untuk berleha, tidur merangkul lutut
napas leluasa jauh dari hamburan debu
yang diterbangkan mikrolet tua menderu
yang saling sikut tuk berebut penumpang
peduli lampu merah di depan menyala
terjang saja tuk segera sampai terminal
peduli risiko mengadang di muka
dicegat Polantas atau celaka tabrak lari

sepi lorong kota, dipecah langkah pejalan kaki
penarik becak tak terusik oleh derap langkah
asyik dalam pulasnya, merajut mimpi
mimpi-mimpi yang sarat isi tapi tak pernah bertepi
tentang kehidupan yang kian galau
tentang udara kota yang kian menyesakkan
tentang cinta pada anak istri yang begitu setia
menunggunya pulang membawa bungkusan
nasi berlauk disantap penuh kebahagiaan
atau kehampaan karena sepi penumpang
tetap disambut dengan senyum mengembang
rezeki Tuhan tak menetu, tak bisa diduga
hanya tabah yang harus terus dijaga
ada hasil atau tidak, tak boleh hilang gembira
begitulah hidup, hanya bisa terus berupaya

Palembang, November 1978

Selamat Jalan Bunda

kala kau renggangkan tali napas
kusimak iramanya
kau ulur pelan-pelan
sampai lepas dari buntal paru

kala kau kurangi kecepatan degup jantung
juga kusimak iramanya
makin lama makin pelan
dan akhirnya berhenti

tali napas terlepas
degup jantung berhenti
akibatkan mati, akibatkan sepi
sepi kupecah dengan jerit tangisan
tangisi kepergian bunda
kembali ke Haribaan-Nya

sepi terisi kata ucapan duka cita
dari tetangga, karib kerabat
duka cita atas kepergian bunda selamanya
sepi dipecah gema doa
dikumandangkan warga kampung, bagi arwah bunda

selamat jalan bunda, ananda ucapkan
mesti apa aku selain mengatakan ini
sebab meski aku menangis berlama-lama
bunda takkan membuka mata dan menghiburku
karena bunda telah pejamkan mata tuk selamanya

selamat jalan bunda, kan kukirim doa
setiap usai kutunaikan sholat
semoga arwah bunda mendapat ketenangan
dalam peristirahatan yang panjang
menanti pintu surga terbuka

Banding Agung Ranau, Januari 1979

Berdoalah Bocah

berdoalah bocah
dengan kesedihan di hatimu
yang terlalu pagi untuk kau jumpa
yang terlalu pahit untuk kau rasa

berdoalah bocah
dengan linangan air mata
yang tak kau tahu di mana jatuhnya
meski di sekitar sila dudukmu
yang tak kau tahu rasanya
meski sempat kau jilat
kala lewat di celah bibirmu

berdoalah bocah
bersama sepi di sekelilingmu
kalau memang itu yang kau rasa
tapi sebenarnya kau tak sendiri
ada matahari di belakangmu
yang sedari pagi mengais embun
di daun kamboja makam ibumu

berdoalah bocah
dengan kekhusukan hati
bagi almarhumah ibumu
yang menanti pintu surga terbuka

Banding Agung Ranau, Maret 1979

*) mengenang wafatnya bunda tercinta. Sabtu, 13 Desember 1978

Sulaman Iman Diri Saya

/1/
kurajutkan benang
pada kain yang tak koyak
karena itu, aku bukan menambal lubang
melainkan hanya menyulam
tapi setelah sulaman setengah jalan
ternyata aku tak ubahnya menambal lubang
sebab hasil sulaman justru menimbulkan kesan
bahwa kain itu nampak koyak
sulit bagiku untuk berdiri di suatu sisi
agar aku dapat menatap pasti
bahwa lubang yang kucari ada di sini
tapi hal ini memang benar sulit untuk pasti
sebab kain yang kusulam
hanya nampak bagian yang sedang aku sulam
sedangkan bagian yang telah kusulam tergulung
padahal di bagian itulah yang terdapat lubang
akibat sulaman yang mungkin kurang benang
hingga aku bagaikan mencari lekuk tubuh
yang ditutupi pakaian transparan
ataupun setengah telanjang di tempat remang
padahal lekuk tubuh itu baru akan tampak
bila benar-benar telanjang di tempat terang
di sinilah aku bisa menilai
bagaimana keindahan tubuh yang telanjang
di sinilah aku bisa ungkapkan penilaian
bagaimana keadaan diriku dalam bentuk sulaman
yang telah kurajut sendiri
dan lewat sulaman yang telah kurajut itulah
aku bisa mengenal seutuhnya siapa aku ini
ternyata diri ini tak ubahnya
sulaman yang menimbulkan banyak lubang

/2/
dan bila aku renungkan
ternyata hasil sulaman diriku
kurang benang di sana sini
sebenarnya mempertebal sulaman diri
tak sulit bila mau mencuri hati
yang sesekali waktu jauh dari mata: ‘pemalas’
yang ketat mengawasi
tak sulit bila hati mau disuruh berani
melawan malas yang ketat mengungkung bagai tirani

/3/
dan bila aku renungkan
hasil sulaman yang kurajut sendiri
dapat kuumpamakan dengan keadaan iman diriku
maka, pikiran sampai pada penilaian
bahwa iman diriku, ternyata tak setebal yang kuduga
berarti sama halnya dengan sulaman yang kurajut
perkiraanku tak pernah kurang benang
tapi setelah aku bentangkan nampak masih banyak lubang
ketawakkalanku mempertebal iman diri
dalam kurun waktu terbentang sepanjang usia
banyak terdapat lubang di sana sini
hal ini karena kealpaanku beberapa waktu lalu
karenanya perlu ditambal, perlu disulam lagi
agar kesan lubang di sana sini itu tertutupi
berganti kesan bahwa iman diri ini tebal dan sempurna

Yogyakarta, Agustus 1979
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...