Langsung ke konten utama

Perempuan-perempuan di Tengah Lautan Demonstran

Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Cipayung Jawa Barat melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (8/10/2020). Dalam aksinya, mahasiswa dari berbagai kampus itu menyuarakan menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sudah disahkan DPR RI. (Foto: Tribun Jabar/Gani Kurniawan)

Di tengah lautan domonstran menolak disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yang digelar elemen mahasiswa berbagai perguruan tinggi pada Selasa-Kamis (6-8/10/2020), banyak sosok perempuan menahan debar di dada. Pertama, sosok perempuan yang terlibat langsung dalam aksi massa yang turun ke jalan. Mereka adalah cewek-cewek kece, para mahasiswi dari berbagai kampus, bisa dikenali dari jaket almamater yang membalut tubuh mereka melapisi baju atasan masing-masing. Dengan bawahan celana jeans atau rok panjang yang menyembunyikan legging di dalamnya.

Sosok perempuan yang terlibat langsung dalam aksi demo, para mahasiswi entah semester berapa, ikut turun ke jalan tentu bukan sekadar euforia belaka melainkan karena kuatnya ”daya dorong” bahwa mereka sebagai agent of change, bagian dari calon pemimpin di masa depan, maka berdemo adalah pembelajaran efektif dalam menyikapi realitas sosial. Apalagi kalau mereka menempuh mata kuliah ekonomi pembangunan, sosiologi, antropologi, filsafat, hukum, dan politik. Yang kesemuanya berhubungan langsung dengan sumber daya manusia dan sistem tata kelola negara.

Sosok perempuan berjuluk mahasiswi, yang rela make up-nya luntur kena keringat dan skincare-nya sesia. Sama seperti rekan mahasiswa mereka, rela turun ke jalan menyampaikan aspirasi. Meski berangkat dari unit kegiatan yang berbeda di kampus, tetapi pada dasarnya sama. Adalah aktivis yang digembleng oleh mentornya untuk bersikap kritis. Sikap kritis itu mereka tunjukkan dengan orasi sampai parau menyuarakan tuntutan atau penolakan setelah disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, pada Senin (5/10/2020) dinihari. Dan aksi mereka, mungkin juga didukung sepenuhnya oleh dosen mereka.

Massa buruh di Purwakarta (foto: Ade Supyani, pekerja metal di Purwakarta, Jawa Barat), Kamis, 8/10/2020

Kedua
, sosok perempuan penyandang status sebagai pekerja/buruh (workers). Mereka yang ikut demo bersama mahasiswa menolak Omnibus Law Cipta Kerja tergabung dari berbagai aliansi serikat pekerja dan serikat buruh, baik tingkat perusahaan maupun tingkat daerah dan pusat atau nasional. Untuk serikat pekerja dinaungi KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) sedangan serikat buruh dipayungi KSBSI (Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia). Sososk-sosok pekerja/buruh perempuan tak kalah berani dibanding pekerja/buruh laki-laki.

Ketiga, sosok perempuan yang menyandang peran sebagai istri. Yaitu istri-istri dari Bapak-bapak aparat polisi dan TNI senior (pamen dan pama) yang memimpin serta mengawasi tugas polisi dan TNI junior (bintara dan tamtama) mengawal jalannya aksi massa dari kemungkinan chaos. Keempat, sosok yang perannya baru status pacar dari polisi dan TNI junior tersebut. Kelima, sosok perempuan yang menyandang status sebagai ibu. Ya polisi, ya TNI, ya para demonstran itu sendiri tentu saja ada yang masih punya ibu (kecuali yang ibunya sudah almarhumah).

Sebelum berangkat ke tempat tugas, polisi dan TNI yang senior tentu terlebih dahulu akan berpamitan dan cipika-cipiki dengan istrinya dan menerima salim anak-anaknya. Polisi dan TNI yang junior pun tak lupa akan pamit sama pacarnya meski melalui pesan WhatsApp atau video call. Atau bahkan mungkin yang ada ibunya, sekalian mereka pamiti. Mohon diri untuk berangkat tugas menjalankan perannya sebagai pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat. Mohon doa agar dapat perlindungan di jalan dan tak terjadi apa-apa.

Seorang ibu di Kota Palu ditenangkan Polwan Polda Sulteng. Warga Jalan Samratulangi itu memprotes kekerasan terhadap anaknya yang diduga dilakukan polisi saat membubarkan demonstrasi mahasiswa, Kamis (8/10/2020).
(Foto: Liputan6.com/Heri Susanto)

Para istri, pacar, dan ibu itu, pastilah akan memantau jalannya aksi demo melalui televisi sambil menahan debar. Ketika bentrokan antara demonstran dengan aparat tak bisa dihindarkan, debar yang ditahan para perempuan itu, akan memuncak menjadi kekhawatiran yang amat sangat. Dan bisa pecah menjadi tangis bila melihat tubuh-tubuh berjatuhan bersimbah darah. Mata mereka akan memastikan tubuh yang terkapar itu bukanlah suami, pacar atau anak yang dicintai dan disayangi yang mereka tunggu kepulangannya ke rumah.

Ibu, istri atau pacar itu, meski melepas dengan ikhlas suami, anak, atau pacarnya ke medan tugas, namun tetap saja akan dihantui perasaan was-was. Bila terjadi chaos, pikiran mereka menguarkan tanya, ”Jangan-jangan, jangan-jangan”. Dan gumam embuh lainnya yang penuh spekulasi. Istri, pacar, atau ibu itu, baik yang ada di rumah, tempat kerja, bahkan di pelosok kampung nun jauh di seberang pulau, tak ubahnya seperti perempuan kebanyakan, memiliki naluri yang sama. Lebih mengedepankan perasaan daripada rasio. Takut menghadapi kemungkinan terburuk

Sosok perempuan keenam, yang tak kalah penting ”dalam kegiatan demo” adalah para polisi wanita (polwan). Bersama polisi pria, peran polwan tentu tak sedikit. Tanpa melibatkan polwan dalam mengamankan chaos, betapa pakewuh-nya polisi pria menyelamatkan mahasiswi yang tersungkur dihajar peluru karet atau water canon yang ditembakkan. Para polwanlah yang akan berperan aktif menyelamatkan dan mengamankan mahasiswi yang menjadi korban. Keberadaan polwan sangat penting, mereka tak boleh kalah tangguh dari polisi pria.


Ilustrasi mahasiswa yang membawa poster bertuliskan tentang Anya Geraldine.
(foto: dari instagram Anya Geraldine @Anyaselalubenar, Jumat, 9/10/2020).

Di samping istri, pacar, ibu, mahasiswi pendemo, dan polwan, ada lagi sosok perempuan ketujuh yang selalu menjadi bagian dari aksi demo para mahasiswa, meskipun dia tidak ikut terjun langsung di tengah lautan demonstran. Dia hanya muncul berupa meme dalam poster yang diangkat tinggi-tinggi oleh mahasiswa. Meski berupa meme dalam poster, keberadaannya tidak kalah penting dibanding istri, pacar, ibu, dan para mahasiswi pendemo itu sendiri, yaitu pemompa semangat. Dia adalah Anya Geraldine, nama selebgram dan influencer ini selalu muncul setiap ada demo.

Tentang namanya, Anya Geraldine adalah nama pilihan Ayahnya, sedang nama pilihan Ibunya adalah Nur Amalina Hayati. Nama pilihan Ibunya inilah yang disematkan sebagai nama asli selebgram dan influencer ini. Dalam hal nama ini banyak yang tidak tahu nama aslinya karena kebanyakan orang hanya tahu nama Anya Geraldine, yaitu nama yang dipakainya sebagai pesohor. Nama yang dia pakai di berbagai akun media sosial dan di dalam kegiatannya sebagai selebriti. Dengan memakai nama Anya Geraldine, sepertinya dia lebih dikenal dan mendatangkan hoki baginya.    

Aksi massa, demonstrasi, atau apa pun sebutannya, sejauh dijalankan dengan tertib oleh aktivis mahasiswa tentu tidak akan terjadi chaos. Kecuali ada penyusup, provokator, atau penunggang di luar elemen mahasiswa yang memancing di air keruh, mencari kesempatan untuk melakukan penjarahan, tentu akan menciderai tujuan mahasiswa berdemo. Yah, barangkali hanya Anto Hoed yang tidak terlalu pusing dengan Omnibus Law karena ia punya Melly Goeslaw. Melly adalah sosok perempuan yang, bila menyebut namanya terdengar bunyi law. (ZY)


~



 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...