Langsung ke konten utama

Pendidikan dan Budaya

Setelah dua pekan lalu siswa SMA sederajat memungkasi pendidikannya dengan menempuh UN, mulai hari ini giliran pelajar SMP yang menempuh UN. Ada perbedaan mendasar antara UN di era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh atau era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan era Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan atau era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).


tampak tampilan kolom”Kacamata Zabidi Yakub” di koran LE, 4 Mei 2015

Perbedaan itu, di masa Muh. Nuh, UN sebagai penentu kelulusan siswa, sedang di masa Anies Baswedan kini, UN bukan penentu kelulusan. Di masa itu, kelulusan tertinggi atau 100 persen adalah kebanggaan bagi suatu sekolah. Karena itu ada upaya tertentu yang ditempuh pihak sekolah agar kelulusan 100 persen tercapai. Di antaranya, mengadakan les tambahan bagi siswa yang akan menempuh UN, oleh guru mata pelajaran yang di-UN-kan. Ada juga siswa yang ikut Bimbel di luar.

Meski mengadakan les di sekolah itu tidak dibenarkan oleh undang-undang, tetap saja dilaksanakan atas perintah kepala sekolah. Apa sebab? Karena, justru memang kepala sekolah lah yang berkepentingan pencapaian kelulusan 100 persen. Pasalnya, kepala sekolah dituntut oleh kepala dinas pendidikan. Kepala dinas pendidikan dituntut kepala daerah (bupati/walikota/gubernur), dan kepala daerah dituntut oleh Kementerian.

Begitulah, tuntutan/tekanan berjenjang, pada akhirnya melahirkan berbagai kekeliruan. Adanya kebocoran soal dan kunci jawaban yang tersebar via SMS, ditengarai sebagai “pekerjaan” oknum di dinas pendidikan karena di situlah tempat disimpannya berkas soal setelah datang dari pusat. Oknum di dinas tentu tidak bekerja sendirian, pasti ada juga oknum kepala sekolah yang terlibat kongkalikong, mengingat mereka berkepentingan membantu siswa mempermudah mencapai kelulusan 100 persen di atas.

Kementerian Pendidikan tak kalah pula upaya untuk memperkecil terjadinya kebocoran soal dan kunci jawaban yang terjadi. Siasat yang ditempuh dengan menambah variasi soal hingga menjadi 20 paket, Bahkan di berkas soal disertai dengan barcode yang antara satu dengan lainnya tidak sama. Hasilnya? Lumayan. Meski masih ada kiriman SMS kunci jawaban di malam harinya, tapi sangat menyulitkan siswa untuk mencocokkannya dengan paket soal UN yang (akan) dikerjakannya keesokan hari.

Dari sisi nama, antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah. Sepertinya Presiden Jokowi ingin lebih menekankan pada aspek kebudayaan. Kebudayaan berasal dari kata dasar budaya yang ditambahkan imbuhan “ke-an” untuk mendekatkannya pada seluk beluk budaya itu. Patut dipahami terlebih dahulu, bahwa budaya itu sangat luas cakupannya. Bukan saja yang bisa dilihat mata tapi juga yang bisa dirasa hati. Sehingga, budaya sangat universal. Mencakup nilai atau unsur pendidikan di dalamnya.
      
Antara pendidikan dan kebudayaan tak ubahnya dua sisi mata uang. Tujuan utama pendidikan adalah mengajarkan keluhuran budi dan menegakkan kejujuran. Maka, tidak pada tempatnya bila pemangku pendidikan, dalam hal ini dinas pendidikan dan pihak sekolah membuka peluang terjadinya ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN, seperti dengan membocorkan soal dan kunci jawaban. Sebab, akan dicap sebagi tidak berbudi, tidak berbudaya, dan tidak bertanggung jawab.
 
Contek masal dengan membocorkan soal dan kunci jawaban, seyogianya tidak pantas dibudayakan. Sebab, cara-cara yang terang benderang menunjukkan kerendahan budi itu, tidak bisa dikatakan sebagai jalan yang layak ditempuh demi mendongkrak persentase kelulusan siswa. Justru akan memerosotkan nilai lembaga pendidikan dan sumber daya manusia yang dihasilkannya.

Mulai tahun ini, pelaksanaan UN ditempuh dengan dua sistem. Pertama, sistem berbasis kertas jawaban atau PBT (Paper Based Test). Kedua, berbasis komputer atau sistem online dan disebut sistem CBT (Computer Based Test). Kedua sistem ini punya keunggulan dan kelemahan masing-masing. Sistem online mendorong siswa untuk lebih mempersiapkan diri, baik dari segi fisik dan psikis maupun dari segi materi tes. Sedang sistem lembar jawaban, meski membutuhkan persiapan tapi tidak segawat sistem online.

Tapi, faktanya masih saja ada kebocoran soal UN. Tidak tanggung-tanggung, membocorkannya melalui Google Drive. Soal berbentuk pdf itu memang sama persis dengan yang di-UN-kan, meski hanya 30 tipe soal UN kelas IPA enam mata pelajaran, dengan masing-masing mata pelajaran memiliki lima tipe soal. Kebocoran ini membuktikan bahwa pendidikan belum sepenuhnya melahirkan manusia berbudi, jujur dan bertanggung jawab.

Satu hal, bahwa UN bukan penentu kelulusan siswa, setidaknya bukan lagi beban berat yang menghantui siswa dan orang tua. Tapi, konon masih ada kepala sekolah yang justru takut. Karena, bila kelulusan siswa diserahkan kepada pihak sekolah yang menentukannya, akan terbuka secara nyata mana siswa yang benar-benar layak lulus dan tidak. Bukan direkayasa seperti yang dilakukan selama ini, demi mendongkrak tingkat kelulusan dan tekanan dari atas. Tapi, demi menjaga martabat sekolah dan kelanggengan jabatan, kepala sekolah tetap saja bisa melakukan rekayasa.

Takut, seperti jadi budaya baru dalam kehidupan manusia masa kini. Takut tingkat kelulusan rendah, lalu direkayasa dengan mengirim SMS kunci jawaban. Takut dicap gagal jadi pejabat, lalu merekayasa laporan, yang penting Asal Bapak Senang. Takut kehilangan jabatan, lalu berusaha mempertahankannya dengan upeti kepada pimpinan. Dari takut, muncullah kebohongan (ketidakjujuran), yang sangat merendahkan nilai luhur kemanusiaan.

Pendidikan dan kebudayaan, jika dijalankan dengan selaras akan mengarahkan manusia menjadi lebih berbudi, jujur dan bertanggung jawab. Melahirkan manusia yang memanusiakan. Seperti yang pernah dikatakan Doktor Ilmu Pasti Alam lulusan Universitas Zurich, Swiss, tahun 1919, Gerungan Saul Samuel Ratulangi atau yang lebih dikenal Dr. Sam Ratulangi, sitou timou tumou tou, manusia dikatakan manusia jika dia sudah bisa memanusiakan manusia.

Sementara menurut Ki Hadjar Dewantara, tujuan pendidikan nasional adalah membentuk Bangsa Indonesia yang berpikir, berperasaan, dan berjasad merdeka. Membentuk Bangsa Indonesia berbudi luhur yang merdeka, mandiri dan swadaya, dalam lingkungan yang bernafaskan kebangsaan dan berlanggam kebudayaan.                

Selamat Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2015

| Warahan | LAMPUNG EKSPRES | Senin, 4 Mei 2015 |

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...