Langsung ke konten utama

Bahasa Lampung

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung (FKIP Unila) akan membuka program studi S-1 Bahasa Lampung tahun 2016 mendatang, dan akan mengakomodasi 40 mahasiswa untuk angkatan pertama.
Dr. Bujang Rahman, M.Si
Dekan FKIP Unila Dr. Bujang Rahman, M.Si., mengatakan, pendirian program studi Bahasa Lampung merupakan sebuah upaya pelestarian budaya dan sastra Lampung. Pihaknya akan segera membuka program studi S-1 Bahasa Lampung setelah disetujui Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo.
“Tujuan awalnya untuk melestarikan kebudayaan Lampung baik dari segi seni, pendidikan, maupun bahasa Lampung yang diharapka dapat menjadi ‘bahasa ibu’ seperti halnya bahasa Jawa di Pulau Jawa dan bahasa Sunda di Jawa Barat. Kalangan pemuda di sana tanpa malu menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa percakapan sehari-hari,” ujarnya, Sabtu (21/3).
Menurut Bujang, komitmen bersama ini tentu saja menjadi sebuah optimisme dan harapan besar bagi Unila, sebagai satu-satunya universitas negeri di Sai Bumi Ruwa Jurai ini. Tentu saja Unila menjadi universitas pertama yang memiliki program studi ini. Ini komitmen bersama antara pemerintah dan Unila.
Apalagi, lanjut dia, saat ini sudah ada peraturan gubernur (pergub) tentang pembelajaran bahasa dan budaya Lampung dari tingkat pelajar hingga mahasiswa. Hal itu tentu akan mempermudah Unila.
Kendati demikian, dirinya tidak mau terburu-buru membuka prodi Bahasa Lampung sebelum ada kesepakatan dan kerja sama antara Unila dan pemerintah daerah. Ia menilai kerja sama tersebut sangat penting karena para lulusan Unila diharapkan dapat mengamalkan ilmunya kepada masyarakat. Oleh karena itu perlu sinergitas yang baik antara Unila dan Pemprov Lampung.
Bukan hanya dirinya, ia pun meminta seluruh sivitas akademika Unila mendukung dan mendoakan seluruh proses berjalan lancar dan Prodi S-1 Bahasa Lampung ini segera terwujud. “Harapannya, semua pihak bisa bersinergi. Baik Unila, pemprov Lampung, tokoh adat, dan tokoh masyarakat, hingga seluruh masyarakat Lampung,” katanya.
Tidak ’Committed’
Sebelumnya, dua tahun silam atau tepatnya Senin (31/12/2013), Bujang Rahman datang ke kantor SKH LAMPUNG EKSPRES-Plus, untuk mengklarifikasi tudingan sejumlah pihak, bahwa FKIP Unila tidak ’committed’ dengan budaya Lampung. (baca: LE, Rabu, 2/1/2014).
Dr. Bujang Rahman M.Si menceritakan bahwa Gubernur Drs. Sjachroedin ZP, SH, kala itu, pernah berbicara di kampus Unila dan menyatakan harus ada jurusan Bahasa Lampung di kampus terbaik di Sai Bumi Ruwa Jurai ini. “Saya lalu dipanggil Pak Rektor dan kemudian diinstruksikan untuk mengurus segala sesuatu halnya,” jelas Bujang.
Kemudian, kata dia, disusunlah sebuah proposal persiapan untuk mewujudkan hal itu. “Tetapi saya bilang ke Pak Rektor bahwa pihak fakultas tidak akan membawa proposal itu ke pusat sebelum ada MoU dengan pemda terkait ketersediaan lapangan kerja lulusan-lulusannya nanti,” ujar dia.
Lalu Bujang menutup ceritanya dengan pernyataan simple, “Soal bagaimana tanggapan pemerintah, Alhamdulillah hingga hari ini kami belum menerima jawabannya,” demikian Bujang Rahman.
Bujang menegaskan dirinya enggan untuk sekedar membuka perkuliahan anyar tetapi berikutnya malah mencetak pengangguran-pengangguran intelek yang tidak bisa kerja atau bekerja di sektor yang tidak sesuai karena kesalahan pemilihan kuliah.
“Kalau lulusan kimia, bahasa, matematika dan lain-lainnya itu kuliahnya di Unila tetapi bisa kerja ke mana-mana. Tapi kalau dia lulusan Bahasa Lampung misalnya, yah lapangan kerjanya terbatas hanya di Lampung. Untuk itu, mewujudkannya harus mendapat dukungan dari semua pemangku kepentingan,” paparnya.
Bujang juga menyambut baik masukan Harun Muda Indrajaya (pemimpin perusahaan LE) yang menyarankan bahwa MoU itu juga bisa dilakukan dengan Pemprov Sumatera Selatan menilik sedikitnya ada empat kabupaten di daerah Komering (Sumsel) yang penduduknya bertutur dalam Bahasa Lampung. “Masukan itu sangat baik untuk kami. Sedianya kami akan menindaklanjuti itu,” ujarnya.

Sumber: LE, Rabu (2/1/2014 dan Senin (23/3/2015)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...