Langsung ke konten utama

Sajak-Sajak 1988

Hati yang Suram

tiba-tiba bahagia tergerus nelangsa
tinggal gelap yang setia mendekap
dan suram yang bersemayam
mengekalkan amarah berkepanjangan

hasrat yang diharap mekar begitu tepat
malah sesap sebelum mengendap
tak terurai lantaran terlarai
melucuti kemauan yang tak terperi

hati keruh dicemar kisruh
emosi yang terlampau tinggi
gairah tak pernah sempurna diasah
menyulut perasaan kian mengusut

kemauan telah lama dibengkalaikan
sejak hati tak merasa nyaman lagi
pasrah yang dirawat dengan susah
berharap tumbuh rasa begitu sedap

Malang, 11 Februari 1988  

Kukenang Kau yang Jauh

malam ini aku mengingat-ingat lagi
namamu yang kuperam di hati
jadi layu dan beranjak membusuk
setelah kau cerabut dengan penuh emosi
“jangan kau kenang lagi aku,” katamu

kau memaksa aku menghapus
semua yang mungkin aku kenang
jangan segala hal di antara kita
“boleh yang indah-indah saja,” katamu
tapi bagiku yang tak enak justru lebih kuingat

malam ini kembali aku teringat
kau bersumpah tak akan mempermainkan cinta
karena terlampau sakral untuk jadi mainan
dan kau kekalkan rasa untuk mencintaiku
karenanya tak hendak berpisah apa pun terjadi

malam ini kembali aku ingat-ingat
kau memercikkan ludah seraya bersumpah
tak akan pernah mengenangku seumur hidup
“kau lupa pada sumpahmu dulu,” tanyaku
kau tak peduli seraya berkata; “itu kan dulu”

malam ini aku menuliskan kisah
tentang perempuan yang mudah bersumpah
atas nama cinta, meracau tentang kesetiaan
tak hendak ditinggal juga meninggalkan
tak ingin berdusta serta didustai

tapi serampangan membuang ludah beserta kata-kata 
melaknat orang yang pernah dicintai dan mencintainya
atas derita cinta dan perasaan yang diagungkan
lenyap semua yang pernah dinikmatinya
ludah dan sumpah tak ubahnya bagai sampah 

Pandaan, Maret 1988

Kakek Bodo

sepertinya kita harus sepakat
ada batas-batas tak boleh kita bablas
bebas menabrak tata laku yang berlaku
bahwa di bawah air terjun yang mengucur
pernah ada altar suci pertapaan Kakek Bodo
di situ kita diperkenankan singgah
kalau hanya untuk menikmati tempias
air terjun yang menghempas di tepi cadas
tapi jangan sekali-kali menguyupkan diri
mandi bersimbah senda gurau di situ
apalagi asyik bercinta bersimbah nafsu

sepertinya kita tak perlu mencari tahu
kenapa dilarang berburu kenikmatan di situ
apakah pernah ada kijang kencana terpanah
sebaiknya biarkan saja itu menurut kisah
tak usah kita telusuri berpayah-payah mencari
apa kira-kira buku yang harus kita dedah
setelah tak menemuinya dalam buku sejarah

”itu altar suci pertapaan disakralkan”
sepertinya yang harus kita telan mentah-mentah
sebab kenapa memaksa untuk saling berbantah
dan kita sepakat membisu seperti Kakek bertapa
dan ketika kita sadari bahwa sesungguhnya ditipu
berarti kita telah menjadi bodoh seperti Kakek itu

Pandaan, Maret 1988

Bisumu di Remang Gerbong

                                                             : NHW
dengan blus merah jambu
terlilit slayer sasirangan di pinggangmu
alangkah cantik rupamu pagi ini
tanpa sarapan terlebih dahulu
kita mulai perjalanan Malang-Bangil pp
dari stasiun Blimbing gerbong bergerak
sinar matahari menerpa wajahmu
membuat gincumu tampak mengilat
ditambah goncangan gerbong perlahan
membuat aku seperti diayun-ayun hasrat

tiba di Bangil, udara panas menyapa mesra
di bangsal hajatan kita menunggu pengantin
sedang dihias untuk nanti disandingkan
kita dibiarkan menunggu didekap udara pengap
karton kotak hidangan kau jadikan kipas
anginnya kurang perkasa menjinakkan panas
aku ganti mengipas tetap saja peluh mengucur
di panggung biduan berjoget begitu gemulai
menyanyikan lagu dangdut tahun lapan-puluhan
suaranya meliuk-liuk membuai undangan

senja datang mengiringi matahari temaram
di hamparan tambak bandeng kita berkejaran
camar riuh bersahutan terbang beriringan
ada yang merendah meraih buih di tambak
kita coba mendekat, mereka meringkik menjauh
apakah kita telah mengusik kebahagiaan mereka
atau mereka sepertinya yang begitu mengerti
tak hendak mengusik kebahagiaan kita
dan teman-teman yang sedang membakar bandeng
juga membiarkan kita yang terbuai kasmaran 

usai menikmati bandeng bakar di tepi tambak
kita sepakat menyudahi petualangan
dengan kereta kita kembali ke Malang  
dalam remang gerbong kuraba tanganmu, dingin kurasa
dengan apa kubalut tubuhmu biar hangat kaurasa
tak sehelai jaket bisa jadi penghangat
rasa sayang yang aku punya, dan hanya itu yang ada 
kucoba mendekapmu, tak sengaja dadamu teraba
aku remas perlahan, sepertinya kau kegelian
memanfaatkan remang gerbong, aku leluasa jadinya 

tak tahan kegelian tapi tak kuasa menolak
kau merebahkan tubuh di pangkuanku
menambah gairahku makin mengeratkan dekapan
menambah nikmat rasa menjamah dadamu
sepertinya makin geli yang kau rasa tapi tak menampik
tak pula mengungkapkannya dengan kata-kata
hanya mencubiti pahaku, kau lakukan bertubi
tapi tak peduli, aku semakin memanjakan fantasi
bisumu itu apakah karena kau juga menikmati rasa  
sayang, belum puas aku bermanja, kereta berhenti
  
Malang-Bangil, 15 Maret 1988

Terjerat Tali Kendali

lepaskan, bila kau tak bersedia merawat
jangan kau perlakukan seperti diikat tambang
dengan sengaja kau tarik ulur tali kendali
dia tidak kau pelihara dengan sungguh-sungguh
hendak pergi meninggalkanmu juga dia tak bisa
sepertinya erat kau genggam, rasa aman kau beri
tapi sesungguhnya dia tersiksa, sakit dia rasa

kebiasaanmu menebar pesona luar biasa
berapa banyak sudah perempuan terjerat
semua kau asuh, tapi tak sungguh-sungguh
semua kau buat terpikat, kemudian jadi terikat
semua tertambat, agar kebebasannya terhambat
semua terbuai, daya pesonamu memang aduhai
dasar keparat, alangkah patut kau diganjar laknat

lepaskan, perlakuanmu itu tak pantas
perempuan tak bisa dianggap bagai barang hiasan
kau kumpulkan ibarat benda-benda koleksian
kau buat semua kasmaran seperti lupa ingatan
setelah mereguk rayumu yang memabukkan    
atas nama cinta yang tak kau tahu apa hakikatnya
kau buat mereka terjerat tali kendalimu

Dinoyo, April 1988

Siapa Sesungguhnya Biang

kuyup sudah hatiku bersimbah kata-kata
yang kau semburkan deras begitu rupa
apa tak ada hal baik tesimpan di benakmu
lalu kau pancarkan lewat sorot matamu
melahirkan kemilau kecemerlangan kasih
menyiram daya pesona yang kutanam
tumbuh berkembang di ladang hatiku
dan kau jua yang kelak memetik buahnya
berupa cinta yang lezat dan kau rasa nikmat

mengapa setiap hari kau menggerutu
segala sakwasangka dan curiga tak berguna
segala tuduh yang menimbulkan kisruh
begitu mudahnya menyepuh amarahmu
sepertinya selalu ada yang bisa jadi alasan
bagimu mengumbar sumpah serapah
kuduga ada sesuatu yang kurang darimu
tapi, bagimu justru akulah yang jadi biang   

tentu saja aku tak suka dengan caramu
menuduhku biang padahal kau yang kurang
aku butuh membela diri demi kebaikan
tapi, amarahmu semakin tak terkendali
bersikeras akulah yang pantas disalahkan
sedang kau tak pernah mencoba introspeksi
aku rasa hubungan kita sudah tak sehat
tak layak lagi untuk dilanjutkan

Malang, April 1988

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

"Repot Nasi"

Aktivis 98 Bandung dan Jakarta berkumpul di Gedung Sate, Bandung dalam memperingati 27 tahun reformasi. Bandung, 21 Mei 2025. (gambar: strategi.id/Bobby san) Pada hari ini, 27 tahun lalu, Jendral Besar Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atas desakan beberapa tokoh, di antaranya Emha Ainun Nadjib, Nurcholis Madjid, dll. setelah gerakan mahasiswa menuntut dilakukan reformasi tak terbendung, dengan puncak didudukinya Gedung DPR/MPR oleh elemen mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta dan juga luar Jakarta. Beberapa tokoh yang dikomandoi Amien Rais --yang kemudian membuatnya dijuluki Bapak Reformasi-- mendesak Soeharto untuk mundur sebagai presiden. Setelah didesak Harmoko (Ketua DPR), Soeharto pun menyerah lalu menyampaikan pidato. Namun, bukan mundur atau meletakkan jabatan yang jadi narasi dalam pidatonya, melainkan berhenti . Dengan tenang ia mengatakan, "Saya menyatakan berhenti sebagai presiden Republik Indonesia terhitung mulai hari ini." Pagi menjelan...