Langsung ke konten utama

AI... Aih, Kamu kok Gitu

Yang namanya sawah, di mana-mana bentuk topografinya tidak ada yang sama sisi antara panjang maupun lebarnya. Niscaya akan bersesuaian dengan kontur tanah berdasar batas wilayah dengan lahan lain di empat penjuru mata angin (timur, barat, utara, dan selatan) yang dimiliki pihak lain (tetangga).

Ketika hendak mengetahui ukuran luas lahan sawah, muncullah masalah bagaimana cara menghitungnya. Jalan keluarnya mesti dicari pake rumus matematika yang jangan sampai membuat mati seketika. Ketemu video YouTube tutorial cara menghitung luas tanah dengan  rumus segi empat tidak beraturan. Wah, jadi bersinggungan lagi dengan pelajaran matematika.

Hasil hitungan berdasar tutorial di YouTube

Tanpa disadari, keberadaan YouTube telah memberi banyak pengaruh pada kehidupan manusia. Butuh panduan apabila terbentur pada masalah pelik, bisa dicarikan solusi penyelesaiannya dengan bantuan artificial intellegence (AI) alias kecerdasan buatan seperti ChatGPT, Gemini, Grok, MetaAI, dll.

Tetapi, di balik cerdasnya "mereka-mereka" itu, menjadi bumerang bagi kecerdasan alamiah otak manusia. Dalam hal penilaian, misalnya, hasil olah pikir manusia yang orisinil, sering dinilai oleh "mereka" sebagai hasil kecerdasan buatan (AI). Terlampau sok tau dan pede gitu. Problematik kan?

Ada kasus, mahasiswa membuat tugas akhir (dahulu disebut skripsi), padahal hasil kerja keras otaknya, eh... setelah diperiksa oleh dosennya menggunakan aplikasi Turnitin, dikatakannya sebagai hasil kerja kecerdasan buatan. Gila nggak? Bikin marah nggak? Mengecewakan nggak? Harus piye menyikapinya.

Tentu saja hasil penilaian si Turnitin itu bikin apes. Si mahasiswa capek-capek mikir dan bersandar pada data, analisis, dan metode oleh Turnitin 'dituduh' plagiarism. Apa perlu marah misuh-misuh. Terang saja dong mengecewakan dan membuat siapa pun yang bekerja keras, merasa terpukul 'dituduh' gitu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...