Langsung ke konten utama

Memanusiakan Manusia

Datang lagi satu buku antologi bersama. Kali ini puisi-puisi bertema pendidikan. Pendidikan adalah cara terbaik meraih kemerdekaan. Bayangkan saja orang yang berpendidikan rendah, rentan sekali tertindas, terjajah, dan gampang dibodoh-bodohin.

Lha, orang berpendidikan saja masih mungkin ditipu mentah-mentah, apalagi orang yang sama sekali tak berpendidikan. Pendidikan adalah jalan terbaik meningkatkan harkat dan martabat, cara mendapat penghormatan dari orang lain.

Pendidikan adalah suluh atau cahaya yang dapat menerangi jalan gelap agar tak tersesat dalam berjalan menempuh kehidupan yang serba abu-abu. Ilmu yang didapat dari alam pendidikan bisa dijadikan peta pengarah jalan lurus kehidupan.

Ada 44 penulis puisi terhimpun dalam buku ini. Sebenarnya bisa lebih banyak dari itu. Tapi, karena ini antologi swadaya, berarti ada kewajiban moral masalah biaya cetak yang mesti dipenuhi peserta atas nama suka sama suka dan bersedia bersama.

Bagi yang tak bersedia untuk tidak mengatakannya keberatan, tak ada paksaan untuk berkontribusi. Wong dalam agama saja tak dipaksa kok. “Laikro hafiddiin” titik. Monggo yang mau saja yang lanjut puisinya diproses masuk antologi dan diterbitkan.

Yang gak mau sekalipun dia merasa menyandang nama besar untuk kepopulerannya di dunia tulis menulis, ketidakmauan tanpa alasan itu bisa mendegradasi nama baik diri. Siapa ora eman di duit saat ini. Tapi, di muka telah terbaca jelas.

Klausul di muka memang sudah terang, bahwa ada kontribusi untuk penerbitan buku. Jika di awal sudah tidak respek, ya, tidak usah kirim naskah. Ketika naskah tetap dikirim, mestinya saat diminta dan/atau ditanya kontribusinya, jelaskan saja.

Jangan sampai admin bolak-balik menanyakan atau jeleknya menagih seolah-olah piutang, ya, sangat menyedihkan. Di situlah letak pentingnya pendidikan itu. Supaya memperoleh pengajaran, utama dan terutama perihal manusia beradab.

“Si tou timou tumou tou, manusia baru disebut sebagai manusia jika sudah bisa memanusiakan manusia,” kata Sam Ratulangi, seorang pahlawan nasional dari Sulawesi Utara. Jadi, inti ungkapan itu, bagaimana adab memperlakukan sesama.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...