Langsung ke konten utama

Palu Hakim

Saut Situmorang terkulai di pangkuan Anies Baswedan usai mendengar vonis keputusan hakim yang dijatuhkan kepada Tom Lembong 4,5 tahun penjara. Ya, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu tidak kuat menahan duka mendalam atas matinya keadilan saat dihantam palu hakim.

Thomas Trikasih Lembong akrab disapa Tom Lembong yang sempat diberitakan bebas dari tuntutan hukum, ternyata di sidang putusan Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (18/7/2025) Tom dijatuhi hukuman 4,5 tahun bui setelah dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi importasi gula oleh hakim Pengadilan Tipikor.

Saut Situmorang terkulai sedih ke dalam pelukan Anies Baswedan. (Kompas.com/Xena Olivia)

Usai mendengar putusan itu, Saut yang sejak awal duduk di bangku sidang, menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Pak Anies Baswedan. Setengah wajah Saut terbenam di pundak Pak Anies Baswedan dengan sedih, Pak Anies menepuk pundak pegiat antikorupsi tersebut.

Palu hakim tak bisa diduga suaranya seperti apa. Begitupun desah suara hakim usai baca putusan final. Delik dan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, yang membuat suara palu hakim terdengar memenuhi unsur keadilan atau tidak. Tak dimungkiri suaranya penuh kejutan, terdengar memilukan.

Terkejut pada ketuk palu hakim dan merasa pilu mendengar putusan yang dijatuhkan kepada Tom Lembong, itu yang membuat Saut Situmorang tak bisa menyembunyikan raut kesedihannya hingga menjatuhkan diri dalam pelukan Pak Anies Baswedan. Palu hakim telah membunuh keasadaran.

Kesadaran Saut Situmorang terhadap hukum di negeri ini yang semakin ngawur. Kesadaran publik yang mengikuti dari awal penangkapan, proses persidangan hingga jatuh vonis. Yang kesemuanya itu menunjukkan adanya indikasi kriminalisasi terhadap Tom Lembong. Publik tidak buta dan tuli, banyak simpatisan menilai Tom Lembong semestinya dibebaskan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...