Langsung ke konten utama

Covid, Palsu, Ndasmu

Mengobrolkan tentang covid dengan teman, eh… kok malah lupa semua istilah-istilah -- yang intinya melarang orang bepergian. Aduh...... payah sekali mengingat-ingat istilah lockdown sewaktu menyinggung anak-anak kami yang work from home (wfh) -- bekerja dari rumah -- di masa itu.

Anak ragil kami kala itu work from home (wfh) dari rumah indekosnya di Jogjakarta. Menghadapi kenyataan banyak warga di lingkungan indekos itu jadi mangsa covid, tak ayal ia jadi takut. Apadaya, hendak pulang ke Lampung masih lockdown. Terpaksa menunggu masa pelonggaran.

Anak mereka rupanya sama saja mengalami keriwehan serupa. Bekerja di Jakarta yang merupakan pusat pandemi, pusat kebijakan, dan pusat kewenangan tentang aturan yang ditetapkan pemerintah pusat dan pemprov DKI. Kantor tutup, tak ada keramaian di jalan. Ibu Kota seperti sebuah kota mati.

Ilustrasi (pict: youtube indovestasi bisnis tv)

Nah, kita-kita (kami) yang terlibat obrolan di senja teduh itu, adalah korban covid semua, korban kebijakan wajib vaksin 1, 2, dan 3 (booster). Apa-apa yang terungkap obrolan gayeng itu, intinya hendak tidak percaya covid itu ada, tapi nyatanya banyak orang mati dimangsa covid (dicovidkan).

Antara ada dan tiada, antara percaya dan tak percaya. Kenyataannya, hingga hari ini apabila bersin sekali saja, hidung saya langsung memproduksi ingus. Meler susah dibendung. Apalagi bila bersinnya berkali-kali, tambah deras ingus yang keluar dari hidung, mengalir serupa air bah.

Dalam buku kumpulan puisi “Antologi Rasa – Puisi Masa Pandemi” padahal satu puisi berjudul "Li Wenliang" menceritakan Li Wenliang, sosok dokter yang pertama memperingatkan bahayanya wabah penyakit aneh yang merebak di Wuhan, Cina. Ia malah mati dimangsa covid.

Jadi, bagaimana mau tidak percaya bahwa covid adalah penyakit berbahaya dan mematikan, wong dokter yang menduga adanya penyakit langka (sebelum diberi nama covid-19) yang disebabkan virus, tapi ia malah ditangkap kepolisian dengan tuduhan menyebarkan berita palsu.

Ketika ia pun akhirnya mati oleh penyakit aneh yang ia temukan tanda-tanda dan gejalanya pada pasien yang ia tangani di kliniknya, baru orang sadar, kepolisian memulihkan nama baiknya. Kematiannya memicu dukacita dan kemarahan meluas di China. Tapi, semua sudah terlambat.

Pada akhir Desember 2019, Li Wenliang mengirimkan peringatan melalui Wechat ke sesama petugas kesehatan agar berhati-hati menangani pasien yang terkena virus aneh (belakangan dinamai corona), namun polisi menyuruhnya untuk berhenti "membuat komentar palsu" melalui Wechat.

Palsu Ndasmu. Nyatanya tiga tahun orang sak ndunya dibuat mati berdiri. Kurun waktu 2020–2022,  orang tak boleh ke mana-mana. Diam di rumah saja dengan tagar #dirumahaja digaungkan secara luas. Gak boleh naik kendaraan tanpa tes PCR, tes antigen. Ujungnya wajib vaksin.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...