Langsung ke konten utama

Pikiran Saya Bergetah

Hingga pagi ini masih kepikiran kabar duka tadi malam yang tulisan sedih tentangnya sudah diposting tadi malam juga. Sesungguhnya perjalanan hidup ini niscaya akan sampai ujung cerita, yaitu kematian.

Sudah beberapa tulisan di blog ini mengenai kematian. Tentang orang-orang yang tercatat itu, meliputi tetangga dekat (warga satu RT), tetangga jauh (beda RT bahkan beda Blok), saudara dekat (keluarga dan kerabat karib), saudara jauh (para-para sepupu), teman satu komunitas, dan teman jauh bahkan terjauh (terjalin atas pertemanan di media sosial).

Ilustration from SoundCloud - DJ CRUE - LOGIC featuring Kendrick Lamar

Diri kita sendiri, semua teman mengandung cerita, baik cerita suka saat dipertemukan kembali (oleh fesbuk) setelah terpisah ruang dan waktu. Apatah lagi cerita dukacita saat kabar kematian tersampaikan lewat media sosial atau aplikasi perpesanan (whatsapp).

Ketika mengantar jenazah ke pemakaman, jadi catatan bergetah duka, semoga dapat membangkitkan ingatan pada kematian. Bukankah Rasulullah SAW berpesan; sering-sering mengingat kematian agar lebih sadar untuk meningkatkan amal-amal shalih.

Pikiran saya bergetah. Kenapa kok kematian sepupu di Jambi itu tidak dikabarkan oleh anak-anaknya atau istrinya lewat fesbuk sebagaimana kegaliban yang orang lakukan. Oh, barangkali anak-anaknya atau istinya tidak suka 'main-main' di fesbuk. Entahlah.

Tetapi, sangat mustahil rasanya. Karena di era digital ini, seperti aneh jika tak punya akun medsos. Jika pun iya, paling tidak bisa menggunakan ponsel si ayah buat memberi tahu lewat akun fesbuk si ayah juga sehingga kabar duka itu tidak terlambat sampai.

Tetapi, tidak benar-benar aneh juga apabila menelisik sikap orang yang memiliki akun media sosial. Seperti sudah anggapan umum karakter media sosial, “mendekatkan yang jauh dan juga menjauhkan yang dekat” sulit dimungkiri kesahihannya. Absurd, bukan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...