Langsung ke konten utama

Ketika Kita Tua

Kawan sewaktu kuliah di Jogja, terpisah sejak tahun 1986, ketemu terakhir 1987 di Malang waktu saya melanjutkan kuliah. Di suatu senja, tiba-tiba saja ia muncul di tempatku indekos Jalan Candi Badut, rupanya ia baru menyeberang dari Samarinda.

Kami malamnya nonton bioskop, entah film apa, ya, kelewat kedaluwarsa masanya dan tidak pula punya catatannya di buku harian. Kami kembali semakan seketiduran, seperti sewaktu di Jogja kendati hanya semalam cukup buat ubat tiram alias tombo kangen.

Meet and greet dengan kawan lamo, konco lawas

Terputus komunikasi setelahnya. Tahun 1994 setelah saya menikah di tahun 1993, saya kirim kartu lebaran beserta surat. Saya cerita kalau sudah marriage dan dikaruniai putra, terselip sehelai foto pernikahanku. Ia membalas, cerita sudah nikah juga. Duluan saya.

Ia kerja di BCA Samarinda Jalan Jendral Soedirman. Kembali lagi terputus komunikasi. Baru bertemu lagi lewat fesbuk, happy valentine day 14 Februari 2021 adalah momentum pertemanan di fesbuk. Saling like dan comment sekadarnya. Saya kurang aktif fb-@n.

Maret 2021 tanggal 17 kami ketemu muka pertama di lobi hotel Ayaartta Malioboro waktu anak ragil kami diwisuda saat Covid-19 sedang gila-gilanya. Ketemu kedua di Mozy's Guest House Gedungmeneng (tidak catat tanggal dan tahun). Siang ini ketemu kali ketiga.

Kemarin petang ia meneleponku menanyakan posisi Mozy's Guest House, katanya lupa-lupa ingat. Kataku tak jauh dari KMC --Kedaton Medical Center Jl. ZA Pagaralam. Ia menginap di sana, tadi malam saya ke sana, tapi sayang ia sedang pergi ke Telukbetung.

Pada resepsionis saya menitipkan buku "Hari Makin Senja" yang di dalamnya ada dua puisi berjudul Pulau Pisang 1 dan Pulau Pisang 2 yang saya ciptakan tahun 1997 saat Krui masih bagian dari kabupaten Lampung Barat. Lantas ada pemekaran berdasar UU 22/2012.

Dibentuklah DOB --Daerah Otonomi Baru--, lahirlah kabupaten Pesisir Barat tanggal 25 Oktober 2012 dan diresmikan 22 April 2013 hasil pemekaran kabupaten Lampung Barat. Pulau Pisang adalah Tanah, Air, dan Batu tempat kelahiran kawan saya Aminoto Unzir ini.

Pagi ini saya sambangi lagi, mengantarnya beli tiket di pool Damri kemudian makan pindang Hang Dihi di Terminal Rajabasa, mampir Ramayana Ciplaz hendak menarik uang di ATM BCA. Ke Mozy's melanjutkan mengobrol santai sambil menikmati kopi minus gula.

Sebelum ngetik cerita ini, saya tonton video di WAG, mengisahkan 'ketika kita tua' hendaklah lebih sering berkumpul dengan teman, saudara, dan pergi jalan-jalan, bersenang-senang. Kebetulan istri saya sedang Tour Sumatra. Riang jalan-jalan, bersenang-senang.

Apa tujuan itu semua? Agar kita bahagia di masa tua. Benar saja, saya dan kawan ini asyik mengobrol agar hati bahagia, mengaribkan pertemanan dan nambah eratkan kekerabatan. Bagi ulun Lampung, sekelik itu tidak mesti satu darah. Satu daerah, itu sudah cukup.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...