Pada Sabtu (19/07/2025) malam digelar zoom meeting oleh Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI), membincang pakem penulisan sastra daerah. Diikuti 24 peserta dari berbagai daerah. Ini ada keterkaitan dengan hajat TISI membuat antologi dwi bahasa (daerah dan Indonesia) “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku.”
Ada 6 kurator siap mengurasi karya cipta puisi bahasa daerah dari
peserta. Mereka adalah Saut Poltak Tambunan (Bahasa Batak), Wardjito Soeharso
(Bahasa Jawa), Andi Mahrus (Bahasa Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan), LK.
Ara (Bahasa Gayo), Yoseph Yapi Taum (Bahasa NTT), dan Udo Z Karzi (Bahasa
Lampung).
Tentang pakem penulisan, ada dua, menurut Andi Mahrus. Pertama, sastra
daerah klasik. Artinya, bukan sekadar ditulis menggunakan bahasa daerah,
melainkan mengandung muatan lokal (local
content) perihal apa pun yang ada di daerah tersebut, baik bahasanya maupun adat budaya yang dianggap klasik atau jadul.
Klasik dan jadul dalam hal bahasa, misalnya bahasa yang sudah tidak
dipakai atau jarang dipergunakan oleh masyarakat (bahasa arkais). Yang kedua,
sastra kontemporer atau modern. Ini mengacu pada karya sastra yang di samping ditulis
menggunakan bahasa daerah, tetapi juga lebih mengarah kepada sastra modern.
Hasil zoom meeting,
peserta yang mengikuti jalannya diskusi daring itu, pagi ini tadi telah
diberikan sertifikat. Tambah maning
koleksi sertifikat yang pernah Ay
dapat. Yang jelas nambah wawasan dan pencerahan tentang pakem penulisan
sastra berbahasa daerah kendati saya telah melahirkan buku Singkapan.
Saya buka ulang buku Singkapan
(Sang Rumpun Sajak bahasa Lampung), tak salah bahwa saya tak sekadar menulis sajak berbahasa Lampung, tetapi ragam kearifan lokal atau local wisdom di dalamnya mengandung tradisi yang pernah saya
saksikan dan alami sendiri di masa kecil dan saya pahami sebagai budaya leluhur.
Bahasa Ibu
Upaya pemertahanan bahasa Ibu atau bahasa daerah, salah satu caranya adalah
menulis karya sastra dengan bahasa Ibu tersebut. Akan tetapi, tidak banyak
sastrawan yang mampu dan mau melakukannya. Persoalan klasik, kentalnya
penggunaan bahasa Indonesia sejak kecil, membuat mereka tak menguasai bahasa Ibu.
Hanya sedikit keluarga yang menjunjung tinggi budaya leluhurnya. Keluarga yang seperti itu, misalnya masyarakat Batak
dan Jawa, sangat konsisten menggunakan bahasa Ibu. Hampir susah menemukan orang
Batak yang tak bisa berbahasa Batak. Anak-anak di Jawa sejak SD diajarkan
pelajaran Bahasa/Aksara Jawa.
Ada beberapa daerah yang memiliki aksara. Sependek pengetahuan saya,
misalanya Aceh (Aksara Pegon –Arab Melayu), Batak (Aksara Batak), Rejang
(Aksara Ka-Ga-Nga), Lampung (Aksara Ka-Ga-Nga), Kerinci (Aksara Incung), Sunda
(Aksara Sunda), Jawa (Aksara Ha-Na-Ca-Ra-Ka), Bali (Aksara Bali), Banjar
(Aksara Banjar), Bugis (Aksara Lontara).
Selain aksara-aksara di atas ada juga beberapa daerah yang pada masa leluhur dahulu pernah mempergunakannya, tetapi di anak turunannya hanya tinggal cerita
klasik. Misalnya, Sumatra Selatan yang memiliki banyak ragam bahasa pernah
ada yang mempergunakan Akasara Ulu. Di Bima, NTB pun hanya tinggal cerita.
Kekuatan Bahasa
Bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga simbol identitas
bangsa. Di tiap perbatasan atardaerah, daya hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi
oleh kontak lintas daerah dan dinamika sosial di daerah yang berbatasan
tersebut. Saling terpengaruh atau memengaruhi niscaya tak terelakkan. Dwi bahasa
pun terjadi.
Misal, Cilacap (Jawa Tengah) yang berbatasan dengan Ciamis (Jawa
Barat), sependek ingatan saya, inyong-inyong di Cilacap secara tidak langsung pasih
pula berbahasa Sunda. Entahlah orang di Ciamis, apakah juga bisa berbahasa
Brebesan, ya, ndak tau saya. Di daerah lain yang berbatasan, sangat mungkin terjadi hal sama.
Nah, dalam konteks kasus di atas, apalagi lintas negara seperti halnya Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia Kucing. Kekuatan Bahasa Melayu
Kalbar, bisa saja goyah pengaruh interaksi yang intens antara warga lokal (Kalbar) dengan tetangga serumpun yang
menggunakan Bahasa Malaysia dan Bahasa Inggris.
Komentar
Posting Komentar