Langsung ke konten utama

Tanda Pikun

"Saya mulai pelupa," kata 'kawan' di reunian ibu dan bapak pensiunan guru siang tadi. Saya kasih tanda kutip pada kata kawan karena kami berkawan oleh musabab ditautkan status yang sama, yaitu sebagai suami dari ibu yang spesial-spesial itu.

Kenapa saya sebut spesial? Karena istri kami itu tak bisa berkendara. Sehingga kami adalah suami yang "ternak teri" --ngantar anak dan istri--. Kami lakoni sejak masih aktif mengajar hingga sudah pensiun ini. Ketika hendak reunian seperti tadi, mesti kami antar.

Ilustrasi, olah gambar milik TehOkti.com (wordpress)

Atas pengakuan 'kawan' bahwa ia mulai pelupa, saya hanya membatin apakah itu merupakan tanda-tanda mulai pikun? Barangkali iya dan bisa jadi hanya oleh karena jarang ketemu. Ia salah menebak nama, ketika menyapa salah satu ibu, dianggapnya mulai pelupa.

Tadi siang merupakan reuni kelima, istri saya sudah ambil bagian pada reunian keempat di rumah makan Kinar Resto. Pertemuan pemula di rumah ibu Dini di Waykandis, kedua di perum Springhills, dan ketiga di Pindang Paw resto. Tadi di rumah Ozy, BKP Blok O.

Sebagai 'perkawanan' sesama "ternak teri" kami dua 'katut' ke mana pun langkah istri. Baik sebagai juru antar maupun pengawal sekaligus. Dari kondangan hingga ke pasar dan dari reunian hingga pengajian. Katut melu mangan, melu warek, dan foto-fotoan.

Terus, kenapa saya menulis tiap hari di blog ini? Ya, demi mencegah pikun datang sejak dini. Sebenarnya banyak cara mencegah pikun. Selain menulis seperti yang saya lakukan, cara lainnya membaca. Membaca dan menulis saling berkait satu dengan yang lainnya.

Sebenarnya tak apa jadi pelupa, boleh-boleh saja, sangat manusiawi kok. Yang tak boleh adalah lupa diri, apalagi lupa kepada Tuhan. Sungguh cilaka 12 orang yang lupa terhadap Tuhan. Lupa yang tidak sepatutnya dilakukan, itu sama saja dengan kufur.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...