Langsung ke konten utama

Terhanyut Akan Nostalgi

Wajah baru Mal Malioboro setelah berubah nama menjadi Plaza Malioboro.

Aku dan istri sedang menikmati malam di Malioboro. Pedestrian yang dahulu penuh pedagang Kaki 5 kini kosong melompong, bisa dimanfaatkan pelancong main sepeda listrik sewaan, wara-wiri senang-senang.

Tulisan 'Mal Malioboro' yang dahulu terpajang di atas bagian depan gedung kini bergantikan tulisan 'Plaza Malioboro' seiring 'dibelah-duanya' bangunan. Bagian depan jadi Plaza dan Belakang jadi Mal Malioboro.

Akses masuk Plaza dari Jl. Malioboro (seperti saat masuk ke Mal Malioboro dahulu) sementara akses masuk Mal Malioboro harus dari belakang (Novotel Hotel) atau melalui pintu khusus di Jl. Mataram.

Suasana para 'pengukur jalan' menyusuri Malioboro malam tadi.

Sepeda listrik sewaan siap dimanfaatkan penikmat Malioboro siang maupun malam.

Live music di pedestrian Malioboro setelah pertokoan tutup.

Ada pemusik yang menyajikan 'live music' buat sopo sing butuh hiburan pejalan yang lelah. Silakan ngaso sejenak menikmati musik. Bisa request lagu ataupun langsung menyanyikannya itu tentu akan lebih baik.

Bebas mau lagu apa yang dinyanyikan, mereka siap mengiringi. Mereka juga siap lho melayani apa pun request lagu yang disukai. Siap saja 'terhanyut akan nostalgi saat luangkan waktu nikmati suasana Jogja.'

Hasil jeprat-jepret sesuka-sukanya.

Terhanyut aku akan nostalgi... Ya, begitulah Jogja tak pernah bosan aku mengunjunginya. Menapak tilas ke kota yang terbuat dari 'rindu, pulang dan angkringan', kata Jokpin dalam sebuah puisinya yang begitu puitik.

Penggalan puisi Jokpin itu jadi ikonik karena dipajang di dinding pagar bagian sisi kiri Teras Malioboro, tidak dimungkuri siapa pun yang pernah bermukim di Jogja. Seperti halnya aku dulu yang dari SMA hingga kuliah.

Karenanya selalu saja aku rindu Jogja, selalu ingin 'pulang ke kotamu' yang ngangeni, bikin penasaran ingin menikmati angkringan yang di masa kami dahulu sebutannya 'wedangan' bukan angkringan.

Asal jepret

Asal jepret. Ya, obyek fotografi apa pun asal angel pengambilan gambar bisa tepat komposisinya akan menghasilkan foto yang sedikit nyeni. Setidaknya begitu. Seperti batu-batu dan bangku kosong itu.

Walaupun belum tentu ada nilai seninya bagi orang lain. Sebuah gambar memang begitu galibnya, bebas nilai. Seni menurut sendiri, tidak menurut orang lain karena persepsi ukuran yang tidak sama tentunya.

Ini juga asal jepret

Bangku kosong ini tiba-tiba mentrigger aku. Dan, hasil jepretan ini ternyata tidak mengecewakan. Dari segi pencahayaan malam dengan mode night pada ponsel membantu menghasilkan foto yang lumayan bagus.

Asal jepret yang satu ini juga lumayan oke.


Malioboro, 27/5/2024 | 21:48




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...