Langsung ke konten utama

Privilege Tanpa Tapi

Ilustrasi, image source: Tribun Pontianak

“Sebenarnya punya ortu yang melarang pulang malam, terlalu dekat dengan lawan jenis, selalu ngingetin untuk menutup aurat, selalu ngingetin salat dan ngaji, dan banyak hal lain yang menurut orang ‘strict parents’ itu adalah ‘privilege’ yang patut disyukuri.”

Terbaca begitu di akun X (twitter) seorang cewek yang melintas di time line jagad twitter malam ini. Tweet (cuit)annya itu mendapat 19K like, 5.9K repost, 178 reply, dan 374 view. Cewek yang juga seorang blogger itu memiliki 10K lebih follower, following 2.5K.

Tersemat alamat narablog di profil. Saya coba singgah ‘berteduh’ sejenak buat membaca sekilas tulisan di blog, ada 24 bab tulisan berwujud cerita semacam novel. Beralamat di Tulungagung, Jawa Timur. Saya jadi teringat teman sama-sama ke UWRF Oktober 2023.

Teman pemenang Hadiah Sastera Rancagé sastra Jawa. Tahun ini ia sudah mengirim buku berisi cerita pendek atau cerkak (cerita cekak) ke Yayasan Kebudayaan Rancagé untuk diikutkan penilaian tahun 2025. Semoga ia kembali menang dan saya ikut bahagia.

Kembali ke cuitan cewek di atas, dengan 19 ribu lebih yang menyukai bisa disimpulkan bahwa apa yang diungkapkannya itu tidak dimungkiri ada benarnya. Hanya saja, banyak yang menganggap larangan sebagai kekangan. Padahal, pada akhirnya demi kebaikan belaka.

Coba kalau ortu bersikap masa bodoh dan cuek. Apakah anak senang? Ada yang senang, tentu. Ada yang justru tanda tanya kok ortu gue bodo amat, ya? Nah, tindakan ortu yang bersikap protektif janganlah dianggap sebagai kekangan. Justru itu tanda mereka care.

Tetapi, tidak semua cewek merasa mendapat privilege dari ortu berupa perhatian, nasihat, dsb. sehingga dia patut bersyukur seperti halnya cewek yang mengetweet di atas. Tidak semua ortu juga memiliki hal-hal yang bisa membuat anaknya mendapat privilege.

Mensyukuri privilege tanpa tapi. Premis apa yang diungkapkan cewek dalam cuitannya di atas, semua hal yang dianggap kekangan dari ortu pada dasarnya adalah ‘privilege tanpa tapi’ yang tidak didapatkan orang lain. Karena itu, patutlah disyukuri ‘tanpa tapi’. Iya kan?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...