Langsung ke konten utama

Hanya Menanam Sajak

sekadar ilustrasi (Kompasiana.com)

Aku hanya menanam sajak, malam ini, berumpun-rumpun, maaaf hanya itu yang aku mampu. Sebab aku habis berkeringat, membuat bunting satu koper. Badannya terlihat gendut mengandung baju, celana, beha, jilbab berlembar-lembar, berlapis-lapis, bersusunan hingga penuh dan gendut.

 

Amis Darah di Pematang Sawah


silsilah salah
ada tulah tak terbantah
tapi, tak ada keinginan menyerah
itulah emosi yang menyulut amarah
diperdaya bertubi amarah, diam pasrah
mengkristal kisah

kisah-kisah yang kurang nggenah
mengkristal dalam satu wadah
“rapat keluarga merembuk masalah”
berawal ketidakbecusan pegang amanah
dua bersaudara bertikai di pematang sawah
o, darah tertumpah

pematang sawah dicemari amis darah
darah dari bersaudara satu moyang terpisah

moyang yang lari ke negeri entah
meninggalkan utang berlimpah
tergadai akhirnya sebidang tanah
tertawalah si tuan tanah


BKP, 20 Mei 2024

 

Kebangkitan Amarah


oi, hari kebangkitan nasional
masih adakah nasionalisme tersisa?
masih rupanya, bahkan banyak
tapi, nasionalisme kobarkan amarah
“negeri ini tergadai teriak mereka”
utang negara berlimpah

peninggalan rezim yang akan turun
digantikan pemarah mabuk jabatan
yang tangannya berlepotan darah
atas kematian aktivis nasionalis
yang ia culik dan sembunyikan

di hari kebangkitan nasional
amarah mendidih di dada mahasiswa

mereka was-was, diselubungi gelisah
sebab uang kuliah naik berlipat-lipat
orang tua mereka tak mampu memikul
teramat mahal, teramat berat

oi, hari kebangkitan nasional
masih adakah nasionalisme tersisa?
masih rupanya, bahkan banyak
tapi, nasionalisme kobarkan amarah
“uang kuliah di negeri ini kian mahal”
kian sulit dijangkau rakyat miskin

rezim yang akan turun ugal-ugalan
parlemen bekerja dalam senyap
“parlemen jalanan siapkan perlawanan”
bersatu seluruh BEM se-Indonesia
mereka hanya punya satu kata: lawan

di hari kebangkitan nasional
kebangkitan amarah amatlah lumrah

sebab hanya itu cara yang dimiliki
berdemo, suarakan kritik dan tuntutan
tapi, tak ada yang bakal peduli
parlemen kejar target sahkan RUU


BKP, 20 Mei 2024

 

Hendak Terbang


berkemas
satu koper terlihat bunting
hendak ke mana? Terbang besok pagi

berkemas
hendak terbang besok pagi
ke mana? Ke kota yang aku kangeni

berkemas
hendak ke kota yang selalu ngangeni
aku tidur ah, besok hendak terbang


BKP, 20 Mei 2024



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...