Langsung ke konten utama

“Andaikan Aku Pengantinnya”

Busana pengantin Lampung Saibatin (foto: https://budayanesia.com/baju-adat-lampung/

Di balik bayang-bayang usianya yang menua, garis-garis penanda kerasnya kehidupan yang dilaluinya, menyemburat di lintang wajahnya yang sedikit berisi. Stretch mark di perutnya sisa-sisa kehamilan tertinggal membentuk kenangan. Perutnya yang sedikit membuncit mencirikan orang yang banyak makan sayur berkuah santan.

Begitulah Nurhidayah setelah memasuki masa purna tugas, beban tanggung jawab mengemban amanah mencerdaskan anak bangsa seperti terlepas dari pundaknya. Bila duduk di lepau kejung lamban langgar1 mereka, pundak Nurhidayah tampak anggun tegak berdiri. Sama sekali tidak membungkuk seperti menyandang beban berat.

Sewaktu baru datang ke Pekon2 Pugung Penengahan, gadis Nurhidayah lumayan manis. Pantas saja ketika kali pertama melihat saat diperkenalkan kepadanya, Fauzan langsung jatuh hati. Langsung dicingnya. “Daripada keduluan orang lain,” pikirnya. Barangkali itu yang acap dianggap orang sebagai cinta pandangan pertama.

Memperkenalkan Nurhidayah kepada Fauzan, menurut Bu Chotun, itu cara yang paling masuk akal. Dia kewalahan mendengar keluhan Nurhidayah yang mengalami kultur syok dari biasa tinggal di kota tiba-tiba terpelanting jauh ke pedalaman Sumatra. Chotun mencari cara jitu menjinakkannya, beruntung dia temukan jalannya.

Jalan yang Chotun temukan adalah jalan terindah yang siapa pun tak kuasa memungkirinya. Yaitu dengan menghadirkan seseorang yang menaburi Nurhidayah dengan perhatian, kasih sayang bahkan cinta. Hasilnya memang menakjubkan. Nurhidayah mulai jinak, keluh kesah berusaha dia tahan, tidak lagi dia tumpahkan.

Tidak hanya Bu Chotun seorang yang mengupayakan Nurhidayah agar kerasan3 mengabdi di SMP mereka. Bu Nurbaiti dan guru-guru lain pun memikirkan hal yang sama. Bapak-bapak guru yang senior pun menyuntikkan motivasi. Kehadiran Nurhidayah sangat mereka butuhkan karena memiliki latar belakang Fakultas MIPA.

Guru jebolan Fakultas MIPA tidak keliru diibaratkan alat elektronik AC/DC, menggunakan tenaga listrik bisa, batu batterai pun jadi. Begitu juga Nurhidayah, mengajar mapel Matematika bisa, maple IPA apalagi. Melihat ada klik antara Nurhidayah dengan Fauzan, guru-guru di SMP Pugung Penengahan itu bungah4 sekali.

Nurhidayah exited5 sekali ketika diajak ke penayuhan6. Dia terpesona melihatan pernak pernik hiasan khas Lampung yang dipasang di dalam rumah pemilik hajat. Baju adat yang dikenakan kedua mempelai juga menyihir daya pikatnya. Mungkin sempat membatin, “Andaikan aku pengantinnya…., ohhh…”

Mempelai pria mengenakan jas beludru dengan motif bunga tabur atau pucuk rebung, kopiah tungkus, berhias gelang dan kalung. Sementara mempelai wanita mengenakan baju panjang beludru dengan sarung tumpal, selempang jungsarat7 (jenis songket yang diselempangkan dari bahu kanan ke pinggang kiri.

Pelengkap pakaian adat lain yang tak bakal ditinggalkan adalah siger8. Mempelai wanita akan tampak anggun mengenakan siger dengan tujuh lekukan. Tujuh lekukan tersebut menandakan ada tujuh adok9 pada masyarakat Saibatin10 atau Pesisir. Pakaian adat itu menjadi salah satu identitas budaya yang khas dari masyarakat Lampung.

Nurhidayah begitu terkesima. “Waduh, bagus sekali, ya, kebudayaan di Sumatra ini,” celetuknya kepada Bu Nurbaiti. “Kamu senang? Nah, nanti kalau kamu jadi menikah dengan Fauzan, kamu juga akan didandani seperti pengantin wanita itu tadi, di atas kepalamu dipakaikan siger kuning keemasan. Kamu akan anggun sekali,” kata Bu Nur.

Mendengar ujaran Bu Nurbaiti, Nurhidayah hanya tersipu malu. “Ah, belum tentu itu. Ya, kalau Mas Fauzan beneran mau sama saya, kalau nggak gimana dong,” jawab Nurhidayah. “Kamu jangan pesimis. Semangat dong, nanti kami bantu meyakinkan Fauzan,” jawab Nurbaiti.

 Glosarium:

1.      beranda rumah panggung

2.      kampung/desa

3.      betah

4.      gembira

5.      semangat

6.      pesta

7.      kain songket/tapis

8.      mahkota berlekuk-lekuk

9.      gelar

         10.   salah satu jurai dalam masyarakat Lampung


#cerita pendek 500 kata

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

JULI

Bulan Juli lingsir ke ujung cakrawala, banyak momen penting yang ditinggalkannya. 23 Juli 2025 Perpustakaan Nasional Press (Perpusnas Press) RI merayakan HUT ke-6 bareng dengan peringatan Hari Anak Nasional. Di negara kita, HAN tanggal itu. Hari Anak diselenggarakan berbeda-beda di berbagai tempat di seluruh dunia. Ada Hari Anak Internasional diperingati setiap tanggal 1 Juni. Ada pula Hari Anak Universal, diperingati setiap tanggal 20 November. Negara lain pun memiliki hari anak sendiri-sendiri. Ilustrasi, kalender meja (picture: IStock) Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, akhirnya  menetapkan 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. 13 tahun sastrawan dan seniman berjuang meraih pengakuan atau legalitas itu sejak kali pertama dideklarasikan di Pekanbaru. Adalah Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri yang menginisiasi deklarasi HPI bersama 40 sastrawan, seniman, dan budayawan dari berbagai daerah Indonesia. Deklarasi hari puisi Indonesia ...