Langsung ke konten utama

Memburu Kuliner Legendaris

Warung Bu Sum, salah satu dari sekian warung yang legendaris di Pasar Bringharjo.

Hari kedua stay di area Malioboro, tugas aku dan istri memburu kuliner legendaris dalam Pasar Bringharjo. Sayangnya sedikit kerancuan, los-los yang ditempati pedagang makanan bercampur baur dengan los-los pedagang batik, perkakas rumah tangga, sayur, dan bahan jamu-jamuan yang aroma khasnya menyeruak.

Karena itu, beberapa makanan yang dahulu, tahun '80an, acap aku sambangi saban minggu tak kami temukan, agak gelo jadinya. Beruntung warung makan Bu Sum yang menjual soto ayam dan babat, sate kere, sate jando, dan oseng mercon terdeteksi. Di situlah kami makan siang dengan memilih menu soto babat.

Warung Bu Sum

Memulai hari, sarapan pagi tadi aku dan istri ngopi di belakang Teras Malioboro. Wuih, ada martabak telor, lumpia, dadar gulung, serta pisang goreng yang sudi menemani dua gelas kopi kami. Di samping kopi ada juga wedang uwuh dan air sereh bisa dipesan. Tinggal pilih mana suka sesuai selera. Boleh juga coba-coba.

Dua gelas kopi hitam bersekutu dengan sepiring martabak, pisang, dan lumpia.

Nikmat tiada tara. Dahulu spot sarapan pagi bila stay di area Malioboro adalah nasi pecel siram di dekat pintu masuk Pasar Bringharjo. Kini semua mereka direlokasi ke samping dan belakang Teras Malioboro. Depan pasar Bringharjo praktis bersih dari tenda PKL sehingga terkesan bersih, lapang, jembar, dan lega.

Pecel lele a la Jogja lelenya cuma satu ekor, tapi bertubuh besar. Beda dengan di Tanjungkarang, lelenya kembar.

Makan malam tadi kami balik lagi ke Terang Bulan, nila goreng dan lele goreng jadi pilihan. Kemarin malam gudek krecek yang kami pesan. Usai makan tak ada opsi lain selain ikut arus pelancong menyusuri pedestrian Malioboro. Ada live music, sejenak jeda berjalan, menikmati alunan lagu mendayu merdu.

Satu spot foto di Teras Malioboro

Usai sarapan mencoba berinteraksi dengan pedagang di Teras Malioboro yang mereka itu dahulu berjualan di Kaki 5 depan pertokoan Jl. Malioboro. Terkesan mereka tak bisa berbuat banyak, mau tidak-mau harus mengikuti aturan kudu direlokasi dari Kaki 5 ke Teras Malioboro walau akhirnya sepi dari interaksi pembeli.

Banyak pedagang yang tidak buka. Pedagang yang buka terlihat dilanda "kesepian" di tengah hiruk pikuk pengunjung yang hanya foto-foto belaka dan kulineran di bagian samping. Yang masih ramai pembeli tentu saja para pedagang di dalam Pasar Bringharjo. Faktor hoki atau apa musababnya, entahlah. Misteri Jogja.

Ini yang penting, buku pembawa berkah ini amat perlu diabadikan di spot foto yang mengabadikan penggalan puisi Joko Pinurbo ini.

Jogja, 28 Mei 2024


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...

JULI

Bulan Juli lingsir ke ujung cakrawala, banyak momen penting yang ditinggalkannya. 23 Juli 2025 Perpustakaan Nasional Press (Perpusnas Press) RI merayakan HUT ke-6 bareng dengan peringatan Hari Anak Nasional. Di negara kita, HAN tanggal itu. Hari Anak diselenggarakan berbeda-beda di berbagai tempat di seluruh dunia. Ada Hari Anak Internasional diperingati setiap tanggal 1 Juni. Ada pula Hari Anak Universal, diperingati setiap tanggal 20 November. Negara lain pun memiliki hari anak sendiri-sendiri. Ilustrasi, kalender meja (picture: IStock) Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, akhirnya  menetapkan 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. 13 tahun sastrawan dan seniman berjuang meraih pengakuan atau legalitas itu sejak kali pertama dideklarasikan di Pekanbaru. Adalah Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri yang menginisiasi deklarasi HPI bersama 40 sastrawan, seniman, dan budayawan dari berbagai daerah Indonesia. Deklarasi hari puisi Indonesia ...