Sebuah Perjalanan Terjauh
![]() |
Kuala Stabas, Krui |
Kali pertama mendatangi unit kerja
mesti melalui laut dengan jukung dari pelabuhan Kuala Stabas,
Nurhidayah sama sekali tak gentar. Paklik Sasmita, adik
bapaknya rela mengantar. Naik bus malam Solo—Pulogadung lalu ke Merak
menyeberang kapal PJKA ke Srengsem, Panjang, Lampung.
Dari Terminal Pasar Bawah perjalanan
dilanjutkan menuju Krui, tiba sore hari. Jukung
ke Pekon Pugung Penengahan besok pagi
agak siang, mereka mencari penginapan. Pagi setelah sarapan mereka ke Kuala
Stabas, mengikuti saran pemilik penginapan agar tidak ketinggalan jukung.
Dari semula keberangkatan,
Nurhidayah sudah membaca gelagat, perjalanan yang akan dia tempuh bersama paklik begitu
melelahkan. Itulah perjalanan terjauh yang sama sekali tidak terbayang olehnya
akan dia lakukan. Perjalanan menjelajah Pulau Jawa lalu menyeberangi Selat
Sunda ke Sumatra.
Perjalanan yang di benaknya akan
menyenangkan. Kenyataannya sebuah perjalanan terjauh yang melelahkan batin.
Lelah fisik sama sekali tidak dia rasa karena sebagai aktivis kampus Nurhidayah
terbiasa dengan seabrek kegiatan yang menguras energi dan pikiran, tetapi enjoy dia
jalani dan membuatnya happy.
Lelah batin itu yang akhirnya
membuatnya menangis. Tangis itu baru pecah setelah paklik Sasmita kembali
pulang ke Boyolali tinggalkan dia sebatang kara di dunia yang jauh, gelap
gulita karena belum tersentuh aliran listrik. Debur ombak lamat-lamat jadi hiburan tunggal, menemani malam-malamnya.
Kalau saja tidak terpikirkan
olehnya, betapa keras ibu bapaknya banting tulang sebagai petani dan peternak
sapi perah di Boyolali, membiayai pendidikannya. Andai saja tidak terlintas
pemahaman akalnya, dirinya beruntung dibanding pelamar CPNS lain, pengin dia
robek-robek SK itu.
Tiap kali dipandanginya SK yang
membuatnya terbuang jauh, tercerabut dari akar budayanya lalu memaksanya
belajar memahami akar budaya yang baru, matanya jadi lembab. Air mata tiba-tiba
saja menggenang. Cepat-cepat dia mengembalikan kesadaran. Haturkan terima kasih
pada ibu bapaknya.
Sorot matanya yang bening, perlahan
mencipta mata air mengalirkan cinta yang tulus setelah nama Fauzan terpatri di
hatinya. Tak pernah lagi matanya mencipta telaga, tak pernah lagi air mata
menggenang. Sejak diperkenalkan Bu Chotun kepada Fauzan, tangis yang tadinya pecah
tiba-tiba, mengeras bagai kristal.
Dan, ketika tiba pada suatu hari
Nurhidayah didandani mengenakan busana pengantin wanita Lampung Pesisir
bersanding dengan Fauzan, apa yang terlintas dalam batinnya sewaktu diajak Bu
Nurbaiti ke penayuhan, kesampaian. “Andaikan aku pengantinnya,”
batinnya saat itu, jadi kenyataan.
Sebuah perjalanan terjauh di masa
lalu itu, di masa purna tugasnya, jadi sebuah cerita terindah. Kepada guru-guru
pendatang baru, Nurhidayah membaca kisah perjalanan terjauhnya. Kepada
anak-anak murid, dia pompakan motivasi agar mereka kuliah dan aktif
berorganisasi di kampus.
Benar saja, sebagian mereka yang mengikuti
sarannya, banyak yang ‘jadi orang’ dengan berbagai profesi dan juga
terpelanting jauh dari pekon yang membesarkan mereka.
Murid-murid yang dahulu saat ke sekolah berjalan kaki 5 km, kini sudah sukses
berkat tempaan organisasi.
Murid-murid yang jauh meninggalkan pekon itu memendekkan jarak dengan Nurhidayah yang tinggal di pekon dengan facebook, IG, dan WhatsApp. “Motivasi Bu Nuri membuat saya aktif di surat
kabar kampus. Kini saya bekerja di sebuah platform media
digital di Jakarta, Bu,” kata Ardian via WA.
Nurhidayah senang membaca pesan WA Ardian. Pesan yang membuat lelahnya terobati. Lelah sepanjang masa pengabdiannya mengajar mereka. Senang dia muridnya ‘jadi orang’ meski terbuang seperti dirinya dahulu.
#cerita pendek 500 kata
Komentar
Posting Komentar