Langsung ke konten utama

Merehab Makam Kakak

Cungkup makam bagian kepala sudah patah, tinggal yang di bagian kaki yang masih utuh.

Melewati jembatan "Vina" Talun kemarin, selain untuk wisata kuliner, juga untuk ziarah ke almarhum kakak yang makamnya di bagian belakang terminal Cirebon.

Karena dah lama tidak ditiliki, sempat mutar-mutar di seluasnya pemakaman mencari di mana keberadaan makam. Kata abang di dekatnya ada tanaman petai.

Setelah ketemu, cungkup makam di bagian kepala sudah patah, hanya sisa di bagian kaki, tapi beruntung namanya di semen makam terbaca samar-samar.

Tanaman petai sudah gak ada ganti pohon ketapang. Artinya, masih ada pohon peneduh pelindung terpaan panas saat ziarah. Cirebon kan suhunya panas, Bro.

Nama dibentuk dari pecahan keramik ditempelkan di semen makam bagian kaki. Meski hampir semuanya terlepas, tapi masih membentuk ukiran namanya.

Kami sepakat untuk merehab kijing makam dengan menyerahkan pembuatan kepada pengelola makam. "Biayanya duajut," kata bapak yang bernama Aan itu.

Terjadi tawar menawar, miring sedikit. Saya ambil opsi untuk menanggung semua biaya. Abang Ari pengin dipikul berdua agar pahalanya bisa dibagi dua juga.

"Saya aja semua, abang kan dekat bisa menilik tiap waktu kapan sempat," kata saya dan ia pun setuju, deal. Mang Aan menjanjikan satu minggu selesai.

"Kamis depan silakan datang kemari melihat hasilnya," pintanya. Ok, deal, uang muka kami serahkan, sisanya akan diserahkan saat datang memeriksa hasilnya.

Di era serbadigital ini, kami tidak lagi sedia uang tunai terlalu banyak di dompet. Ketika bertemu kasus yang masih butuh uang tunai seperti itu jadi sedikit repot.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...