Langsung ke konten utama

Serendipity Sekelebat Mata

 

Ilustrasi, image source: FFonts

Siang tadi saat lewat Jalan Pramuka mata ini (sekelebat) tertumbuk pada beberapa keping bunga papan ucapan selamat dari beberapa partisipan atas dibukanya warung rawon. Wah, di hati terbit serendipity atau euforia.

Serendipity adalah perasaan senang yang timbul pada saat kita menemukan sesuatu yang baik, tanpa diduga dan diharapkan sebelumnya. Bahasa lainnya adalah euforia, kegembiraan berlebih, kebahagiaan ekstrem.

Dahulu pernah ada warung yang menjual rawon di Jalan Oerip Soemohardjo, didorong rasa penasaran saya mampir membeli. Belum senikmat seperti menyantap rawon langsung di Surabaya, Malang atau tempat lain di Jatim.

Mengenal menu rawon itu sewaktu lanjut studi di Malang. Menu lain yang bikin kangen adalah kare ayam dan krengsengan. Kalau rujak cingur ada di dekat Jalan Sultan Haji (Kota Sepang), seberang kantor Telkom.

Di GMaps sebenarnya ada beberapa warung makan menjual rawon baik di Kota Bandar Lampung maupun di Metro dan Lampung Timur. Hanya saja kurang hits bila dibanding dengan kuliner Jatim lain seperti pecel lele.

Bila sedang pengin makan rujak cingur di seberang Telkom itu saya dan istri mampir. Porsinya besar sekali, cukup buat berdua, tanpa nasi sekalipun dibuatnya kenyang. Apalagi kalau sengaja minta pakai lontong.

Nah, rawon yang baru buka di Jalan Pramuka tadi bikin penasaran. Sayang waktu pulang lewatnya Jalan Imam Bonjol. Besok, lusa atau kapan senggang sepertinya perlu disambangi dengan sengaja dan tanpa tedeng aling-aling.

Tak kenal, maka tak sayang. Tak mencoba, maka tak tahu rasanya. Setelah tahu rasanya, bikin nyandu atau cukup tahu. Kalau nyandu pasti deh akan kangen untuk balik lagi. Lagi dan lagi. Dijadikan kuliner alternatif pilihan.

Kalau cukup tahu, berarti di luar ekspektasi karena didorong serendipity sekelebat mata tadi. Buat menebus serendipity biar tak jadi sesuatu yang bikin penasaran tentu harus mendatangi, mencicipi seperti apa rasanya. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...