Langsung ke konten utama

Demi Sebuah Kebahagiaan

Cuma untuk ilustrasi, Ikan Blue Marlin yang disebut Iwa Tuhuk oleh masyarakat Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. (foto: Kompas Regional)

Nurhidayah yang dipanggil Hidayah di lingkungan keluarga dan pemekonan di Pekon Pugung Penengahan, oleh pelajar-pelajar SMP dan teman ngajar dia dipanggil Bu Nuri, sebuah nama panggilan yang manis. Tambahan huruf ‘i’ agar tidak rancu dengan Bu Nurbaiti, asli wong Palembang yang dipanggil Bu Nur, yang sudah fasih betul bahasa Lampungnya.

Hidayah atau Bu Nuri agak terlambat memiliki akun facebook yang diciptakan Mark Zuckerberg tahun 2004 bersama Eduardo Saverin, Andrew McCollum, Dustin Moskovitz, dan Chris Hughes, rekan-rekan mahasiswa dan teman sekamarnya di Harvard College. Nama facebook berasal dari direktori face book yang sering diberikan kepada mahasiswa universitas Amerika.

Hidayah ngerti sejarah penciptaan facebook itu karena diceritakan Hirza, cucu pertamanya. Pada masa awal facebook mulai digunakan oleh teman-teman Zuckerberg di asrama dan kampus Harvard College, baru bisa diakses melalui PC atau laptop. Bagi Bu Nuri hal itu mustahil karena di samping tidak punya PC apalagi laptop, di Pekon Pugung saat itu sinyal internet timbul tenggelam bak ombak lautan.

Jong, Ajong1 tau nggak siapa yang nyiptain facebook?,” tanya Hirza saat Hidayah masak di dapur. “Ya, nggak lah, emang siapa, Jong?,” Hidayah balik bertanya. “Mark Zuckerberg sama kawan-kawannya,” jawab Hirza singkat. Hidayah hanya manggut-manggut saja, pura-pura mengerti. Hirza sepertinya paham si Ajong tidak begitu peduli.

Baru setelah kebeli BlackBerry Bold 9700 tahun 2010, telepon pintar kegemaran “sejuta umat” masa itu karena memiliki fitur surel cepat (push email) dan BlackBerry Messenger (BBM), Bu Nuri membuat akun facebook. Dipandu cucunya mulai dari membuat e-mail, meminta pertemanan, mengonfirmasi teman, mengunggah foto, menulis cerita, posting video, membuat reel, live facebook.

Meskipun orang terdidik dan berprofesi sebagai pendidik di masanya, Nurhidayah atau Bu Nuri tetaplah sebagai lansia keluaran generasi baby boomers yang gagap teknologi. Berkat anak-anaknya bahkan cucu-cucunya yang lebih melek teknologi, Bu Nuri akhirnya bisa mengerti fungsi berbagai aplikasi yang bertaburan di layar ponselnya. Cucunya Hirza telaten membimbing si Ajong agar menguasai android terbarunya.

Lansia hanyalah penampakan batang tubuh belaka, jiwa mudanya yang energik sebagai mantan aktivis kampus Bulaksumur masih ada sisa-sisanya. Itulah yang dimanfaatkannya mengaktualisasikan diri dengan sedikit narsis. Maka, bertaburanlah pose-pose ciamiknya di Instagram saat liburan ke Boyolali dan Jogja bersama keluarga tiap semester.

Sebagai manusia berpikir, apa pun kegiatannya tidaklah semudah membuang ludah untuk mempostingnya di facebook. Baginya, facebook adalah pekarangan terbuka yang siapa pun bisa melihat. Lain halnya Instagram yang bisa dikunci atau mode privat, membatasi hanya follower yang bisa melihat. Selain itu harus kulo nuwun terlebih dahulu.

Seumpama habis gelap terbitlah terang. Begitulah Bu Nuri, habis BBM berganti WhatsApp. Tiada yang hilang dari kesehariannya berkat ruang tamu virtual bernama facebook. Senantiasa terhubung dengan konco lawas, sedulur adoh, selalu ter-up date kabar suka dan duka, baik dan buruk antarteman dan keluarga. Wisata virtual melihat foto teman-teman facebook saat liburan. Membuatnya terhibur.

Di masa pensiun, dia dan suaminya Fauzan, seperti kembali ke masa-masa pacaran, hanya berdua di rumah dan bepergian ke mana-mana. Kalau lagi tidak ada kesibukan di sawah atau ladang kopi, mereka bisa mengunjungi ketiga anaknya di tempat tugas mereka secara bergiliran. Alasannya nengok cucu, kangen cucu. Membawakan cucu ikan Tuhuk. Demi sebuah kebahagiaan.

 

1. Jong, Ajong (bhs. Lampung) artinya nenek.


#cerita pendek 500 kata



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...